Konsistensi Berliterasi saat Pandemi | Artikel Opini Koran Suara Merdeka

 

literasi-pandemi

Tulisan Tirto Suwondo berjudul ‘’Membangkitkan Anak Gemar Menulis’’ di rubrik ‘’Wacana’’ di Suara Merdeka (17 Juli 2021) yang menanggapi tulisan saya berjudul ”Mengaribkan Sastra dengan Anak” di rubrik “Wacana” di Suara Merdeka (12 Juli 2021), benar-benar melukiskan realitas literasi masa kini. Dia menyajikan sebuah fakta menarik mengenai sebuah sekolah di Jakarta yang sudah menerapkan budaya literasi dengan sukses.

Namun sayang, praktik itu terjadi di sebuah sekolah internasional yang murid-muridnya adalah anak-anak warga negara asing. Apakah tidak ada sekolah-sekolah nasional di negeri ini yang sukses menerapkan tradisi literasi? Pasti ada dan harus ada!

Kita semua tahu bahwa budaya literasi ini merupakan sebuah impian panjang bagi bangsa Indonesia yang persentase minat bacanya masih jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasarkan riset minat baca yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Peringkat kedua dari bawah, apakah hanya ‘’prestasi’’ini yang bisa kita peroleh?

Rasanya masih hangat dalam ingatan kita, bahwa beberapa tahun silam pemerintah telah mewajibkan para siswa untuk membaca buku 15 menit sebelum pembelajaran dimulai. Hal ini telah tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Adanya aturan tersebut tentu sudah tampak bahwa pemerintah telah berusaha untuk mengatasi angka minat baca Indonesia.

Namun, melihat peringkat baca yang begitu miris itu, apakah saat ini kewajiban tersebut hanya sebatas angan belaka? Mengingat adanya situasi (pandemi Covid- 19) seperti ini, rasa-rasanya guru pun akan sulit memantau kewajiban para siswa untuk membaca buku ini. Tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan, bukan?

Mimpi keberhasilan literasi ini bukanlah sebuah tanggung jawab yang hanya dipikul oleh para tenaga pendidik saja. Mereka tidak mungkin dapat mewujudkan mimpi itu bila para siswa tidak bangun dari kemalasan. Budaya membaca ini harus dibentuk dari sinergi para insan yang mendambakan bangsa yang cerdas. Pemerintah, guru, para siswa, orang tua, dan seluruh masyarakat perlu saling bahu-membahu untuk mengatasi problematik literasi ini.

Tak peduli apakah kita belajar dari rumah atau di sekolah, budaya literasi ini harus tetap dijalankan. Pembelajaran virtual yang saat ini tengah digadang-gadang sebagai solusi jaga jarak pada masa pandemi, hendaknya tidak menyurutkan kewajiban para siswa untuk membaca buku barang 15 menit saja. Jangan sampai selama pembelajaran virtual ini para siswa hanya belajar mendengarkan ceramah guru sembari rebahan di atas kasur. Haduh!

 

Era Virtual

literasi-dunia-virtual


Pada era serba virtual ini, tantangan menggemakan literasi pasti akan semakin sulit. Namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Budaya baca 15 menit sebelum pembelajaran harus tetap diterapkan pada situasi seperti ini, saat pembelajaran virtual di masa pandemi Covid-19.

Membaca tidak harus tentang materi pelajaran saja, di sini siswa ditekankan untuk membaca buku nonteks pelajaran. Novel, cerita rakyat, artikel yang bertebaran di jejaring sosial, kisah inspiratif, dan lainnya dapat dijadikan sebagai bahan bacaan.

Lalu, apakah hanya membaca saja? Tentu tidak! Membaca memang bagus untuk menambah ilmu pengetahuan. Bahkan, ada sebuah kutipan inspiratif yang mengatakan ‘’semakin kita membaca, maka akan semakin sadar bahwa kita tidak mengerti apa-apa’’.

Membaca memang dapat memperkaya ilmu, tetapi dengan menulis, seseorang akan dikenang sepanjang masa. Misalnya, dikenang dan tetap menebarkan ilmu bermanfaat melalui buku-buku karya mereka. Lantas, manakah yang harus dipilih untuk dijadikan sebuah kebiasaan, membaca atau menulis? Tak perlu memilih! Keduanya sama-sama bisa dan harus dijadikan sebagai pola kebiasaan para siswa, meskipun dalam pembejaran secara online saat pandemi. Ada beberapa hal yang bisa diterapkan oleh para guru atau orang tua dalam mendampingi belajar putra-putri mereka.

Para guru dapat meminta para siswa untuk membaca buku nonteks pelajaran apa saja yang ada di rumah. Di sini para guru dapat mengawasi siswa-siswanya melalui pertemuan virtual yang biasa dilakukan melalui beberapa aplikasi, seperti Zoom, Google Meeting, dan lainnya. Bila tak memungkinkan mengadakan pertemuan virtual, tak apa. Guru tak harus mengawasi setiap hari para siswanya. Sekali lagi, ini bukanlah tanggung jawab tenaga pendidik saja, perlu ada dukungan dari pihak lain termasuk orang tua dan siswa.

Lalu, apakah proses pembiasaan ini hanya berakhir setelah 15 menit itu saja? Tentu tidak. Setelah meminta siswa untuk membaca buku 15 menit setiap hari, mintalah mereka untuk menceritakan isi dari salah satu buku yang selama satu minggu itu ia baca. Dalam hal ini, guru dapat bertanya langsung kepada siswa atau dapat pula meminta mereka untuk menuliskannya.

 

Penulis: Rani Oktaviyani (Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes)

Dimuat di harian Suara Merderka - Senin, 2 Agustus 2021


sumber :  Viral Layar

Related Posts

Post a Comment

0 Comments