Arifin C. Noer merupakan sutradara teater dan film asal Indonesia yang beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk penghargaan film terbaik, sutradara terbaik, dan penulis skenario terbaik. Selain terlibat di bidang teater dan film, ia juga aktif dalam bidang sastra dengan menulis naskah drama dan puisi. Berikut kami sajikan 10 puisi terbaik karya Arifin C. Noer.
Kamar Ini Kosong
Kamar ini kosong
betul-betul kosong
aku di dalamnya
betul-betul di dalamnya
tapi kosong
Sedang mengembara ke mana sih diriku
ngelayap tanpa permisi dulu
makin tidak disiplin diriku
sejak aku mencintaimu
Kalau datang nanti
akan ku maki-maki
diriku
karena berani-berani mencintai
dirimu.
Secangkir Teh Panas
Secangkir teh panas pada suatu senja
telah menyempurnakan panorama
dalam istirah, setelah lepas dan beban timbunan kerja
— Terimakasih, isteriku
Cinta yang dengan setia kau sajikan
dalam asap wedang yang menghangatkan badan
Seberkas awan di atas atap ditembus seekor burung kelana
Diteras terangguk-angguk memandangnya
seorang laki-laki tua, pensiunan pegawai negeri
Di atas tanah berserakan bougenville
yang berguguran dari tahun ke tahun
Di atas kursi rotan tergetar memandangnya
seorang laki-laki tua dengan seorang perempuan tua
— Teguklah, akang
Racun-racun cinta yang memabukkan
kucampurkan ke dalamnya
Semoga nanti kau pingsan
dan selalu pingsan
dalam pelukanku
Empat bola mata yang bergetaran bulu-bulunya
bercakap-cakap dengan akrabnya. Angin halus
mengusap rambut kelabu dan terberailah
Sehelai uban lepas dan melayang dan rebah
di tanah. Meski begitu, di balik pipinya yang lembek
bulan tak henti-hentinya menyinari dari dalam
dan merahlah warnanya. Mawar-mawar yang bergayutan
menggeleng-geleng pada tangkainya. Jendela pun mengatupkan
daunnya, tersipu, kala sepasang jaka dan dara
dalam fantasi mereka, berpelukan dengan mesra
— Aku tak pernah membawa pulang
oleh-oleh. Tak pernah sekalipun hadiah
pada hari-ulang-tahunmu kusampaikan, sayang!
— Tapi kau tak henti-hentinya
mencubit pipiku. Dengan sayang
kau suguhkan segenap semangat
untuk menjalani kehidupan
dalam jalinan-jalinan nasib yang ruwet
Tapi kau tak henti-hentinya
membelai rambutku. Dan kau selalu memberikan
semuanya. Apa saja
— Tapi gajiku tak lebih cuma nestapa
pada minggu kedua
— Tapi Tuhan menaburkan benih rizki
pada minggu ketiga
dan minggu seterusnya
— Memang
— Memang. Tak patut sesalan
Lampau dan lalu tak berarti apa-apa
kecuali sebagai bacaan-bacaan
yang bermutu. Namun sesalan
tak diharapkannya, melainkan semangat
akan dibantunya. Tidak begitu akang?
— Memang
— Memang
Ini adalah senja tatkala umurnya delapanpuluh
dan tujuhpuluh lima usia isterinya. Ini adalah senja
serupa senja-senja yang telah banyak silam dan senja-senja
yang hendak berdatangan.
Dan mereka duduk berdua. Seekor ayam betina
berkotek-kotek mencari anaknya. Kepalanya
yang gundul bergerak-gerak oleh rasa khawatirnya. Ayam itu
masuk dan terjun ke dalam lubang tempat sampah
Ayam itu menemukan anaknya. Bernyanyi mereka
Bernyanyi tiada habis-habisnya seraya makanan dipatuknya
tiada henti-hentinya
— Akang
— Sayang
— Kemana dia?
— Siapa?
— Anak lanang
— Anak satu-satunya?
— Bulan cuma satu
Surya cuma satu
— Cuma satu, sayang
— Dan hilang!
— Sayang
— Boneka kita direnggutkan perang
— Hentikan sayang
amarah itu. Kita sudah tua
niscaya bertambah tua
Sedih sudah duka pun sudah
Tak usahlah segalanya berlipat-ganda
— Tonggak rumah kita patah
dan pot-bunga paling indah pecah
Kasur malam pertama yang tersia!
— Tapi diam-diam Tuhan penuh rahmat
mendirikan banyak tonggak
tanpa bisa kita lihat
— Memang
— Memang. Seekor ayam jantan
yang telah bertarung dan tak pernah pulang
tidak bermakna nasib malang
Seekor ayam jantan yang menetas
dari percintaan kita telah membuat tonggak-tonggak
untuk tanah-air kita
rumah kita yang agung dan mulia
— Memang
— Memang
Perempuan itu pun mengangguk
dan terpandanglah tanah
hari-hari dan harapan yang masih tersimpan
Laki-laki itupun mengangguk
dan terpandanglah kakinya
betapa ketat tangan anaknya menahannya
Mereka dengan tawakal menjalani amanat penghabisan
Mereka lengkapi rumahnya yang sederhana
dengan kerajinan dan kesabaran. Seikat cahaya
menalikan keduanya.
Ini adalah senja tatkala umurnya delapanpuluh
dan tujuhpuluh lima usia isterinya. Ini adalah senja
serupa senja-senja yang telah banyak silam dan senja-senja
yang hendak berdatangan
— Minumlah, akang
Sebelum racun-racun itu gaib sihirnya
Bibir yang pecah itu tersenyum
Sumur tua yang teduh, di tengah rumpun bambu yang rimbun!
— Terimakasih, sayang
Keduanya tersenyum, bagai dua batang beringin
yang sangat lebat daunnya. Dua matang beringin
di bawah sulapan warna-warna senja.
Sumber: Horison (Desember, 1966)
Selamat Pagi, Yayang
Ketika cahaya matahari tumpah lewat kaca jendela
Angin pun memainkan pucuk dedaunan,
Bunga-bunga genit jadinya
Kita sama-sama menggeliat tanpa saling menatap
Diam-diam berterimakasih kepada udara - kepada hidup
Karena kita masih mau percaya pada cinta
Di atas karpet berserakan sisa-sisa
Percakapan-percakapan kita
Mimpi-mimpi kita semalam
Di antara sepatu-sepatu sandal-sandal
Celana-celana baju-baju
Asbak yang penuh putung, gelas-gelas kosong botol-botol kosong
Langit pagi ini langit kita
Berwarna biru muda rata dan terbuka
Biarkan bening biarkan hening
Jangan putar kaset dulu
Jangan ada gerak dulu
Aku hanya ingin mendengar
Menghirup desah nafasmu
Dan menatap matamu
Pandanganmu yang selalu bagai malam
Kita harus berterimakasih kepada hidup
Karena kita masih mempercayai cinta
Sekarang segeralah mandi
Berpakaian yang rapi sisir rambut
Biarkan terjulai seperti biasanya
Kalau mau pake sipat hati-hati,
Jangan kena bola mata nah segeralah
Selamat pagi, sayang kita akan mulai lagi
Mengikuti matahari entah ke mana.
4 Oktober 1977
Kejujuran
Kejujuran dalam berfikir dan mengutarakan segala nestapa
tak usahlah dikuatirkan akhirnya yang jahat memedihkan
Jangan sangsikan cahaya meski olehnya segala terang terbaca
selama tahu tatapan jernih mata anak-anak kita
tahu makna sejarah
dan tahu tanah air di mana penyair-penyair menyatakan cintanya
tiada habis-habisnya
Keterusterangan dalam berkata dan mengakui segala dosa
tak usahlah ditakutkan akibatnya yang jahat memerihkan
Keriuhan dunia dari kesibukannya yang tak pernah selesai
dalam memilih dan mengurai beragam nilai
cukup punya banyak maaf sebab Allah senantiasa mengerti
apa-apa yang bertolak dari kemesraan kasih
dan niat yang suci
Selamanya laksana kanak yang selalu melakukan kesalahan
dan selalu menerima tamparan sakit yang nyaman
dari sayang bapak tercinta
Terimalah segala kutuk yang bijaksana. Tawakal dan penuh pengertian
Insya Allah, kebudayaan yang tengah dibina
- meski tak luput di dukung dosa-dosa!
Niscaya akan menggembirakan kita
dengan bahagia.
***
Sekali lagi mengertilah makna ibadah
yakni pengakuan
Janganlah takut akan kutuk dunia
selama tahu cahaya
yang kini disangsikan pasti menanggalkan segala
pakaian kotor kita
Sumber: Horison (Desember, 1966)
Dalam Langgar (1)
Sekarang tahulah aku bagaimana aku mesti berkata
dalam ini langgar yang ramah dimana Engkau memberi berkah
istirah dan damai atas setiap gelisah: gelisahku!
Setelah berjalan ke sana ke mari tanpa ada yang dilakukan
terhadap setiap kejahatan dan segala pengkhianatan
yang tengah meramaikan kata ini siang malam
Pencuri-pencuri yang terang-terangan dan korupsi yang dilakukan setiap orang
di samping ulama-ulama yang cuma sibuk dengan kata-kata
- dan para demagog lainnya! Tahulah aku
apa yang mesti aku katakan pada hatiku sendiri
Kini, di sini, sendiri di langgar ini
dimana cahaya bulan menyusup lewat celah atap
menunjukkan noktah-noktah noda pada setiap wajah: wajahku!
Kutukan-kutukan akan tiba pada setiap dosa
Malam yang dikotori dan dibaluti dengan warna hitam
misteri dan rahasia-rahasia akan terbuka
Alhamdulillah! Sepi yang selama ini mengikuti pengembaraanku
telah berhenti di sini dan telah menyerahkan nikmat yang sejati
dari segenap peristiwa-peristiwa yang berlangsung di tanah ini
Alhamdulillah! Aku telah bisa memastikan dan meyakinkan
Segala dusta dari setiap zaman akan membusuk dan menguliti dirinya
sementara tiap-tiap orang menekuri kepalanya sendiri
di kamarnya sendiri
Aku juga yakin seperti juga pasti bertiupnya terompet-terompet sangkala
mengkhabarkan akhir tiap-tiap cerita
Beginilah yang ada di sini: penyerahan diri dengan suatu kepercayaan
berujud perbuatan-perbuatan yang sederhana. Maka terimalah semuanya
untuk-Mu. Di atas tikar yang koyak-koyak ini, di langgar yang renta ini
bayi telah lahir dengan tangisnya yang penuh arti
Terimalah ia sebab ia adalah diriku sendiri
yang nakal dan manja
telanjang dan terbuka
Terimalah ia
Amin.
Dalam Langgar (2)
Dingin malam telah pula Kau kirimkan
Aku akan tidur sekarang:
segalanya kupasrahkan pada-Mu sebab semuanya milik-Mu
Dingin malam telah mengunci kamar-kamar
dan berbenahlah segala kebenaran membikin onar
dengan kegelisahan, sebab pemilik-pemilik yang sejati telah datang menagih
apa yang telah disita dusta selama siang perjalanan
Tetapi aku akan tidur sekarang
berharap segala rasa cape akan hilang
Kalau besok tabuh itu dipalu orang
aku 'kan kembali bekerja
setelah Kau terima sujudku
Akan kususuri lagi segala peristiwa
supaya tahu makna kala bagi manusia
dengan bhakti yang mewah
bagi-Mu: seraya memendekkan cerita lelucon
di antara orang-orang di sini, agar segera sampai pada akhirnya
Dingin malam ini bagai tangan bidadari
yang membelai kepalaku. Sebab itu aku pun mengantuk
sementara impian-impian mengintip dan akan memulai kisah-kisahnya
yang akan menguatkan urat-urat
audzubillahiminasyaitonirojiem ...
Maka malam pun hilang bersama semuanya
kecuali tangan-Mu yang hangat
menyekap tubuhku ......
Dalam Langgar (3)
Kebohongan mengenakan pakaian pengantin yang gemerlapan
Ia akan dikawinkan dengan martabat dan harta kekayaan
Rumah-rumah dari kaca telah didirikan
Tidak lupa, pesta sepanjang waktu mengisi kebudayaan
— Janganlah bersedih, saudara
Sebagai simiskin tak usahlah kita bergumam
Tegaklah dan tantanglah mereka
sebagaimana Allah menunjukkan telunjuk-Nya
Sudahlah cukup waktu untuk tetap selalu membisu
sementara khotib-khotib telah menghiasi pidato-pidatonya
dengan kata-kata usang berdebu dan tak bertolak dari jiwa
sementara hakim-hakim memukulkan palunya
tanpa suatu kepastian dan keyakinan
Sudahlah tiba masanya ditulis sajak seperti ini
walau pahit dan hampir kehilangan kemesraannya
sebagai puisi
kejujuran tak akan mampu mengibarkan panji-panji Kebenaran
tanpa ditopang keberanian. Berdiam
diri dan membiarkan tinta menguap sia-sia
akan mencemarkan sejarah bangsa
Dan anak-anak kita akan seenaknya meneruskan cerita-cerita cabul ini
dan suatu ketika mereka akan mengutuk bapak-bapaknya sendiri tanpa iba
dan kita akan menerima hukuman tiada habis-habisnya
tiada habis-habisnya
di sini dan nanti
Sudahlah cukup waktu kita berbuat dungu
Di atas kertas kosong sudah cukup banyak bertumpuk abu
dari rokok kita yang selama ini setia melupakan
diri kita.
Dalam Langgar (4)
Siapakah yang tega membiarkan anak-anak sekolah
saling bermuka masam saling bermusuhan? Kutuklah ia
Dunia dan Akherat akan membelenggu dirinya
dengan rasa gelisah dan siksa yang baka
Siapakah yang telah melepaskan koruptor-koruptor dari penjara-penjara
memberikan lagi waktu mereka untuk menodai sejarah?
Kutuklah ia
Dunia dan Akherat akan menyediakan mereka
hukuman mereka yang terpanjang
Siapakah yang telah memenjarakan Kebenaran
dan mendudukkan Dusta sebagai pimpinan? Kutuklah ia
Tuhan telah menunggu mereka dengan bijaksana
dan segala tanya siap ditanyakan!
Langgar Purwo, 11 Juli 1965
Siapakah?
Siapakah yang bisa berpesta dengan tenang
dan tertawa penuh kesungguhan
sedang seorang perempuan tua yang hampir telanjang
duduk di atas jembatan
tua. Menadahkan tangan ia
di antara lalulintas kendaraan dan kesibukan
Ataukah memang ada yang mengajarkan
mesti melupakan ibu bapa kita
saudara-saudara kita. Melupakan kebenaran sejarah
sehingga orang dengan gampang bisa melupakan
persoalan yang sesungguhnya
Ataukah ia hanya sebuah noktah pada luasan cakrawala
Marx. Adakah seorang suami yang setia menciumi isterinya
tanpa merasakan sesuatu. Di balik gedung-gedung dan hirukpikuk
mereka berpeluk tanpa tahu malam dan siang
Ataukah kita kerbau yang tak membutuhkan kandang?
Barangkali terlalu kecil kesedihan ini
Tidak membutuhkan pengertian dibanding kerepotan kuli-kuli
yang mengangkuti peti-peti, dan para arsitek yang sibuk memancangkan
pencakar-pencakar langit. Barangkali?
Padahal sejak kebesaran Yunani, Tiongkok dan India
bangga menepuk dadanya, perempuan tua itu telah duduk di sana
sampai hari ini dan kapan saja (?)
melewati kepongahan Jermania, Jepang
Amerika dan Russia. Harus diakui
dunia selamanya angkuh!
Barangkali juga ini suatu pengakuan — ataukah putusasa?
Tak ada satu pun sistim yang dapat menolong dia
nenek manusia bersama debu yang dilupa
Tak ada? — Wahai, waktu kumusuhi tiba-tiba!
Betapapun biarkanlah aku kembali bertanya
Begitu mudahkah engkau bisa menganggap ia
tak ada?
Sumber: Horison (Desember, 1966)
Potret Diri
seekor burung gereja pada suatu senja
bertengger sepi pada atap rumah tua
mencitcit dalam sunyi. tak ada kata
yang tepat untuk dikatakan. maka ia
adalah lautan dalam yang tenang
gelombang tanpa gemuruh dan tersembunyi
di jantungnya. adalah ia ingin yang berkelana
kemana-mana. apabila tiba senja
ia adalah seekor burung gereja
bertengger sepi pada atap rumah tua
dan apabila malam tiba ia
mencari diri-wajahnya
di antara kabut berat rendah dan kemelut
yang menciptakan hayalan-hayalan
dan menawarkan janji-janji kegembiraan
begitulah ia pun surya kala pagi
dan siang! mengarungi langit dengan panas
amarah yang dimuntahkan dalam karya
— diludahinya nasib-buruk yang ganas!
namun tak lebih, ia seekor burung gereja
bertengger sepi pada atap rumah tua
pabila tiba senja
1965
Pertemuan dengan Seorang Pengemis
Pembicaraan kita pembicaraan sunyi
antara hati dengan hati
Malam menutupi wajah kita yang sedih
Tanpa pamit mentari di barat pergi
kotoran-kotoran hitam di jalanan
beterbangan
jatuh
dan dilupakan
Burung-burung gereja bertengger
pada atap kelabu gedung-gedung
lalu beterbangan
jauh
dan menghilang
Di atas teras toko cina seekor anjing betina
tegang hitam berdiri
dan mengancam
Kita saling berpandangan
Saling bertanya-tanya
Sunyi mengikat kita
dengan pembicaraan-pembicaraan rahasia
Tanah lapang yang lengang
Bulan di atas menghina
dengan keanggunannya yang memabukkan
Di bawahnya kita saling merasa heran
Adakah akan terjadi lagi suatu pertemuan
yang serupa ini?
Sunyi.
(Tiba-tiba terperanjat oleh satu firasat
Betapakah seandainya ia adalah Tuhan yang menjelmakan diri-Nya
sebagai seorang insan yang melarat?)
Sumber: Horison (Desember, 1966)
0 Comments