A.S Laksana kembali membagikan materi soal konflik dalam adegan cerpen. Harapannya peserta pelatihan bisa memahami esensi konflik yang berkualitas dan menarik.
Konflik adalah bumbu utama sebuah cerpen. Ada hukum kewajiban mengadakan konflik demi menunjang alur dan adegan yang menegangkan. Konflik bisa melibatkan tokoh utama maupun figuran.
Konflik adalah nyawa cerita. Jika keinginan atau tujuan berfungsi menggerakkan karakter, konflik menggerakkan cerita.
Tidak ada yang bergerak maju dalam sebuah cerita kecuali melalui konflik.
Setiap jenis cerita, setiap genre–novel, cerita pendek, fiksi ilmiah, roman, misteri, sejarah, dan lain-lain–membutuhkan konflik.
Inilah yang berbeda antara cerita dan hidup sehari-hari kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan dari kita tidak menyukai konflik dan memilih menghindarinya. Dalam cerita, kita menyukai konflik, kita menikmatinya, kita menikmati cara tokoh utama mengatasi konflik-konfliknya.
Konflik menghadirkan masalah.
Kita suka jika tokoh utama punya masalah. Semakin besar masalah itu, semakin suka kita. Semakin berlapis-lapis masalah itu, semakin suka kita.
Tanpa masalah, kehidupan akan normal saja. Dan kehidupan normal tidak pernah melahirkan cerita, apalagi cerita menarik.
*
Jadi, beri tokoh kita masalah. Cemplungkan dia ke dalam situasi bahaya. Jika seseorang kita pertemukan dengan macan, dia akan punya masalah dengan kehadiran macan di hadapannya, dan itu masalah hidup dan mati.
Dalam cerita dengan setting hutan, “macan” itu bisa macan yang sesungguhnya atau binatang buas lainnya yang sangat mematikan.
Apa macan dalam kehidupan sehari-hari?
Pemilik kekuasaan.
Penindas.
Bos.
Keluarga (ayah atau ibu atau saudara) perempuan yang dicintai oleh tokoh utama.
Dan lain-lain.
Kita cemplungkan tokoh utama di tengah-tengah para penyamun, maka dia akan menghadapi masalah dengan para orang-orang kasar itu. Sutan Takdir Alisjahbana menceburkan seorang perempuan cantik ke sarang penyamun dan menghasilkan novel Anak Perawan di Sarang Penyamun.
Kita datangkan bencana kepada tokoh utama; dia akan mendapatkan masalah dan harus mengatasi masalahnya.
Kita beri dia penyakit, dan kita bisa mendapatkan cerita menarik. Kisah Nabi Ayub seperti itu. Seorang lelaki yang baik, bertakwa, menjadi panutan bagi orang-orang sekitarnya, hidup makmur bersama istri dan anak-anak yang baik, tiba-tiba diberi masalah–ternaknya mati, anak-anaknya mati, dan dia berpenyakit koreng. Teman-temannya datang dan menanyakan apa dosa yang telah diperbuatnya, sebab tidak mungkin ada azab jika orang tidak berbuat dosa.
Dan, karena ini kisah dari kitab suci, kita diberi tahu bahwa istrinya mulai menggugat Tuhan yang telah menimpakan azab kepada mereka. Perempuan itu mempertanyakan belas kasih Tuhan. Ayub tidak menyalahkan Tuhan, tetapi merutuki nasibnya, meratap bahwa akan lebih baik sekiranya dia tidak pernah dilahirkan.
John Green memberi tokoh utamanya penyakit kanker untuk melahirkan novel The Fault in Our Stars.
Albert Camus menghadirkan penyakit pes di Oran, sebuah kota di pesisir barat laut Aljazair, dalam novelnya La Peste (Sampar).
Ada banyak cerpen yang menceritakan tokoh utamanya mengidap penyakit atau ia harus berurusan dengan tokoh lain yang menderita suatu penyakit.
Beri dia ibu atau ayah atau nenek atau kakek atau saudara atau kerabat atau pasangan yang keinginan atau pendiriannya berseberangan dengan dia.
Keluarga, atau anggota keluarga, sering digambarkan sebagai sumber masalah. Cerita tentang konflik di antara anggota keluarga ini banyak juga ditulis orang. Buku-buku psikologi populer tentang family conflict akan menjadi bacaan yang bisa memberi anda ide tentang berbagai masalah yang timbul di dalam keluarga.
Anda juga bisa menggunakan mesin pencari untuk menemukan artikel tentang jenis-jenis family conflict, jika anda tertarik menggarap tema-tema keluarga.
Kita pertemukan tokoh kita, seorang bujangan, dengan perempuan cantik yang sudah beristri, dia akan punya masalah jatuh cinta kepada istri orang. Sebaliknya, perempuan cantik itu akan punya masalah ketika ia juga jatuh cinta kepada bujangan tersebut. Cerpen Guy de Maupassant seperti ini. Anna Karenina seperti ini. Madame Bovary seperti ini. Cerpen Anton Chekhov "The Lady with The Dog" seperti ini, meskipun kedua karakternya bukan lajang.
Kisah-kisah cinta terlarang akan selalu mempertemukan dua orang yang, dengan berbagai alasan, seharusnya tidak boleh saling jatuh cinta.
Baca Juga : Teknik Menciptakan Adegan yang Menarik Ketika Menulis Cerpen
Pengkhianatan
Kita pertemukan tokoh utama dengan pengkhianat dan biarkan pengkhianat itu menjungkirbalikkan kehidupan normalnya. Bagian awal kisah Nabi Yusuf adalah pengkhianatan oleh saudara-saudaranya. Hamlet adalah pengkhianatan adik terhadap kakaknya, juga pengkhianatan istri terhadap suami.
Kekecewaan
Beri tokoh utama kita kekecewaan dan dia akan membangun konflik dengan orang atau pihak yang membuatnya kecewa. Ranggalawe kecewa dan kemudian memimpin pemberontakan terhadap Raden Wijaya, pendiri Majapahit, orang yang semula dihormatinya. Setiap pemberontakan dalam sejarah negara kita dipimpin oleh tokoh-tokoh yang kecewa terhadap pemerintah pusat. Kekecewaan juga menjadi tema cerpen James Joyce “Araby”, cerpen Chinua Achebe “Marriage Is a Private Affair”, cerpen Hemingway “My Old Man”, dan masih ada banyak sekali cerpen dengan karakter utama orang kecewa.
Harapan
Harapan adalah sisi seberang kekecewaan. Orang menjadi kecewa karena punya harapan dan tidak terpenuhi. Jadi, apa harapan tokoh utama dan bagaimana cara ia memperjuangkan harapan itu terpenuhi? Atau, sebaliknya, apa harapan tokoh utama dan bagaimana caranya tidak terpenuhi?
Ketika harapan tokoh utama terpenuhi, dengan jalan yang semakin sulit semakin bagus, pembaca akan merasa lega. Tetapi bagus juga memikirkan harapan yang tidak terpenuhi, atau harapan yang terpenuhi, namun sudah tidak ada gunanya.
Momen paling dramatis mungkin bisa terjadi, dan akan memberikan rasa pedih kepada pembaca, ketika tokoh utama gagal mewujudkan harapannya. Bagaimanapun, tokoh utama adalah pusat simpati pembaca. Kegagalannya akan memberikan perasaan pedih juga kepada pembaca.
Ironi dramatis terjadi ketika harapan tokoh utama terpenuhi, atau tokoh utama berhasil mewujudkan keinginannya, tetapi keberhasilan itu sudah tidak ada gunanya.
O. Henry, penulis cerpen Amerika, sangat produktif melahirkan cerpen-cerpen dengan kejutan dan ironi semacam ini. Cerpennya yang paling terkenal adalah The Gift of The Magi.
*
Konflik Eksternal dan Konflik Internal
Pada setiap konflik eksternal, kita perlu memikirkan konflik internal (lazim disebut juga konflik batin). Konflik batin membuat tokoh fiksi kita hidup dan berperasaan, dan pembaca akan mendapatkan wawasan tertentu dari konflik batin tokoh utama. Tanpa konflik batin, cerita hanya akan berisi peristiwa-peristiwa–mungkin sangat seru–tetapi seseru apa pun cerita itu, ia hanya akan tampak seperti keramaian karnaval.
Dalam cerita James Bond, misalnya, dan cerita-cerita lain yang sejenis, tokoh utama cerita tidak pernah mengalami konflik batin. Tidak ada wawasan apa pun yang bisa kita dapatkan dari tokoh utama, di sepanjang petualangannya yang seru, dengan peristiwa-peristiwa besar, dengan kehancuran dunia sebagai taruhannya, sebab tokoh-tokohnya tidak pernah memiliki konflik batin.
Namun, kita tahu, cerita-cerita semacam itu memang tidak dimaksudkan sebagai karya sastra. Daya tariknya ada pada pertarungan hidup mati antara protagonis dan antagonis–yang sama-sama tidak memiliki konflik batin. Dengan kata lain, itu pertarungan dua pihak yang sama-sama tidak berperasaan.
Kenapa harus melibatkan konflik batin?
Respons kita terhadap situasi sekitar lebih banyak adalah respons emosional. Manusia pada umumnya adalah makhluk yang lebih mengandalkan emosi untuk menanggapi apa yang ada di sekitarnya.
Ketika seorang lelaki berpapasan dengan perempuan cantik dan takjub pada kecantikan perempuan itu, respons seketika lelaki itu tidak akan berupa analisa tentang apa saja elemen yang menyusun kecantikan si perempuan. Dia akan menanggapi kecantikan itu dengan perasaannya. Dia mungkin akan melongo. Dia akan terus memandangi perempuan itu sampai sosoknya hilang di tikungan. Dia tidak sanggup berpikir sesaat saking takjubnya.
Akal bekerja belakangan, setelah dia selesai dengan mabuknya itu. Tindakan selanjutnya barulah melibatkan akal. Mungkin dia berusaha mencari tahu rumah perempuan itu, merancang cara berkenalan, atau ingin mendapatkan ciuman dengan alasan apa saja yang ia pikir bisa membuat perempuan itu mengabulkan permintaannya.
Dua dunia, dua konflik
Konflik bisa dengan siapa saja, bisa dengan satu orang, bisa dengan sekelompok orang, bisa dengan masyarakat, bisa dengan nilai-nilai, bisa dengan keyakinan, bisa dengan diri sendiri, bisa dengan alam, bisa dengan monster, bisa juga dengan mesin (robot).
Dan karena manusia selalu mengalami dua dunia, yaitu dunia luar (eksternal) dan dunia di dalam dirinya (internal), setiap konflik selalu akan mempengaruhi dua dunia itu.
Karena itu, sekali lagi, selalu pertimbangkan konflik internal (konflik batin) tokoh utama dalam setiap konflik eksternal. Itu akan membuat tokoh fiksi kita manusiawi.
Memikirkan pergolakan batin tokoh kita dalam setiap konflik yang dia hadapi akan membuat kita peka terhadap sisi-sisi manusiawi karakter.
Tanpa konflik batin, pertarungan antara Darth Vader dan Luke Skywalker tidak akan dikenang sebagai adegan paling dramatis dalam film Star Wars. Luke dalam keadaan terdesak, tangan kanannya putus oleh sabetan pedang sinar Vader. Panglima kegelapan itu begitu perkasa dan masih berusaha membujuk Luke agar bergabung dengannya. Luke menolak bujukan itu, tentu saja, sampai akhirnya ia mendengar Vader mengatakan, “Luke, I am your father.”
Musuh besarnya ternyata adalah ayahnya sendiri. Wajah Luke menegang, dia sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Selama ini dia hanya tahu, dari cerita Obi-Wan Kenobi, bahwa ayahnya adalah ksatria Jedi yang menitipkan pedang sinarnya kepada Obi-Wan untuk diserahkan kepada Luke. Secara implisit, adegan pewarisan pedang itu membuat Luke berkesimpulan bahwa ayahnya sudah mati–demikian pula penonton film.
Pengakuan Vader itu tidak hanya twist di ujung cerita, tetapi juga memberikan tekanan emosional baru pada diri Luke. Dan, lagi-lagi, bagi penonton juga.
*
Lapisan-lapisan konflik
Konflik batin tokoh utama akan membuka kemungkinan bagi sebuah cerita untuk mendapatkan konflik yang berlapis-lapis. Dan konflik yang berlapis-lapis akan menjadi salah satu perangkat untuk menghadirkan sense of realism, cerita akan menjadi hidup dan kompleks, sebagaimana kehidupan sesungguhnya.
Kita tahu, dalam kehidupan sesungguhnya, pada saat orang sedang menghadapi masalah, atau terlibat dalam satu konflik dengan orang lain, orang itu akan merasakan bahwa masalahnya tidak selesai-selesai, seperti selalu ada lapisan baru yang tidak diketahui kapan berakhirnya.
Konflik batin, suasana hati karakter, menjadi penting karena orang memaknai realitas melalui sudut pandangnya, melalui point of view dirinya.***
0 Comments