PARTAI LITERASI - Eyel adalah sikap tidak mau kalah. Berusaha mempertahankan argumen sampai berbusa. Dalam ruang perdebatan, jenis manusia ngeyel akan ngalor-ngidul menjelaskan sesuatu yang sebenarnya ia sendiri tidak paham. Padahal sikapnya berbeda ketika ngobrol empat mata, menjadi liar dan egois ketika berdebat di muka umum. Sok keminter!
Pantas saja, Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk lebih banyak mendengar sebelum berbicara. Manusia ngeyel ini tidak begitu paham konteks dan minim pengetahuan, namun selalu ingin terlihat unggul daripada yang lain. Klaim diri bahwa dirinya adalah titisan Tuhan yang Maha Benar.
Sementara orang yang berilmu kebanyakan diam daripada meladeni perdebatan yang secara metodologi dan konsep pembahasan mutlak menang. Manusia ngeyelan lebih mengutamakan emosi daripada logika berpikir. Sehingga terkesan sangar dan pintar, minimal untuk anggapannya sendiri.
Manusia ngeyel ini jelas mengganggu iklim diskusi yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Tidak memberikan solusi selain nada ngegas pada argumen yang tidak mendasar. Kalau kata Slank, Tong kosong, nyaring bunyinya. Otak kosong, ngga ada isinya.
Dialektika kehidupan yang sehat secara sosial itu ya harus siap menerima kebenaran meski berbeda dengan yang selama ini diyakini. Alih-alih berterimakasih sudah diberikan pengetahuan dan pemahaman baru, manusia ngeyel justru menyalahkan argumen yang jelas-jelas dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hati, “Kamu itu belajar dulu yang baik. Jangan tiba-tiba ingin ujian dan mengharap rangking satu di kelas,”
Entah ngeyel itu karakter gawan bayi atau perilaku yang dipengaruhi lingkungan (masih mungkin diubah), yang jelas manusia ngeyelan itu bikin pusing dan males melanjutkan diskusi. Mungkin bagi kalangan manusia berilmu dan kebetulan bijaksana bisa mengalah daripada risih mendengar orang bodoh berisik. Sementara bagi manusia yang kurang bijaksana bisa tertular ketololan dengan meladeni kolotnya orang-orang ngeyel.
Kadang ingin menjauhi orang-orang yang sudah tervonis ngeyelan. Namun alasan persaudaraan dan lingkaran pertemanan mengharuskan untuk istikamah bertemu dan lagi-lagi berdebat. Menghidupkan kembali adu argumen yang tidak ada ujung penyelesaiannya.
Takutnya, sikap ngeyelan ini menular dan membudaya. Kasus anarkis suporter sepak bola juga akibat tidak mau kalahnya sesuatu yang diyakini. Lebih suka menyalahkan wasit, VAR, dan dewan perjudian global. Kadang suka ngamuk di stadion hingga menyebabkan pecahnya gas air mata di Kanjuruhan.
Bayangkan kalau spesies manusia ngeyelan dimusnahkan di muka bumi ini, betapa damai dan indahnya kehidupan. Muncul banyak ksatria yang rela mengaku kalah kalau memang salah. Setiap pengetahuan dari orang lain mudah diterima dengan logika berpikir yang sehat.
Orang-orang berilmu kembali kepada posisinya sebagai penyebar pengetahuan. Sedangkan yang merasa kurang berilmu akan khusuk mendengarkan. Dari pengalaman menjumpai beranekaragam manusia ngeyelan mengajarkan betapa sangarnya Nabi Muhammad dalam menghadapi kaum Bani Israil.
Teman-teman santri sering menandai keturunan Bani Israil dari sikapnya kala berdebat di sebuah forum. Kalau terlihat ngeyel, berarti dia keturunan Bani Israil yang tercecer di Pulau Jawa. Kalau ngeyel tapi argumennya bisa diterima sih oke saja. Kalau ngeyel tapi asal bunyi, malah ganggu pendengaran. Sudah ngeyel, goblok lagi.
Padahal tidak ngeyel bukan berarti bodoh. Justru dari tidak ngeyel, kita bisa mendapat banyak “pencerahan”. Mengakui kalau memang kita butuh ilmu untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kalau disadari, orang ngeyel itu keberadaannya mengganggu ketentraman lingkungan sosial. Namun kebanyakan, manusia yang terinfeksi virus ngeyelen tidak sadar kalau dia adalah penyintas.
Mungkin Tuhan mengadakan manusia ngeyelan untuk menambah bumbu drama sandiwara kehidupan. Teater yang menarik itu kalau ada konfliknya. Penciptaan karakter tokoh harus jelas. Ada yang bertindak sebagai protagonis, ada pula yang berperan sebagai tokoh antagonis. Lhah jelas-jelas ngeyelan tapi masih menganggap diri sebagai tokoh protagonis.***
Penulis : Joko Yuliyanto - Partai Literasi
0 Comments