10 Puisi Terbaik Karya W.S. Rendra

Dr. H.C Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. alias W.S. Rendra adalah penyair, dramawan, pemeran, dan sutradara teater yang dijuluki sebagai Buruk Merak.  Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada. Kemudian pada tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater ke Depok, Oktober 1985. Kami mencoba menyajikan 10 puisi terbaik karya W.S. Rendra untuk bernostalgia dengan seniman terbaik sepanjang masa.  

puisi-ws-rendra


Sajak Burung-burung Kondor

(W.S. Rendra) Yogya, 1973

Angin gunung turun merembes ke hutan,

lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,

dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.

Kemudian hatinya pilu

melihat jejak-jejak sedih para petani  buruh

yang terpacak di atas tanah gembur

namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani  buruh bekerja,

berumah di gubug-gubug tanpa jendela,

menanam bibit di tanah yang subur,

memanen hasil yang berlimpah dan makmur

namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah

yang mempunyai istana indah.

Keringat mereka menjadi emas

yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.

Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,

para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,

dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir

dari parit-parit wajah rakyatku.

Dari pagi sampai sore,

rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,

menggapai-gapai,

menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,

di dalam usaha tak menentu.

Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,

dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,

dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,

berjuta-juta burung kondor,

bergerak menuju ke gunung tinggi,

dan disana mendapat hiburan dari sepi.

Karena hanya sepi

mampu menghisap dendam dan sakit hati.


Burung-burung kondor menjerit.

Di dalam marah menjerit,

bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit

di batu-batu gunung menjerit

bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,

mematuki batu-batu, mematuki udara,

dan di kota orang-orang„ bersiap menembaknya.


Sajak Pertemuan Mahasiswa

(W.S. Rendra) Jakarta, 1 desember 1977


matahari terbit pagi ini

mencium bau kencing orok di kaki langit

melihat kali coklat menjalar ke lautan

dan mendengar dengung di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya

dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini

memeriksa keadaan

kita bertanya :

kenapa maksud baik tidak selalu berguna

kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga

orang berkata : kami ada maksud baik

dan kita bertanya : maksud baik untuk siapa ?

ya !

ada yang jaya, ada yang terhina

ada yang bersenjata, ada yang terluka

ada yang duduk, ada yang diduduki

ada yang berlimpah, ada yang terkuras

dan kita disini bertanya :

maksud baik saudara untuk siapa ?

saudara berdiri di pihak yang mana ?

kenapa maksud baik dilakukan

tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya

tanah  tanah di gunung telah dimiliki orang  orang kota

perkebunan yang luas

hanya menguntungkan segolongan kecil saja

alat  alat kemajuan yang diimpor

tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :

lantas maksud baik saudara untuk siapa ?

sekarang matahari semakin tinggi

lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala

dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :

kita ini dididik untuk memihak yang mana ?

ilmu  ilmu diajarkan disini

akan menjadi alat pembebasan

ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam

malam akan tiba

cicak  cicak berbunyi di tembok

dan rembulan berlayar

tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda

akan hidup di dalam mimpi

akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari

matahari akan terbit kembali

sementara hari baru menjelma

pertanyaan  pertanyaan kita menjadi hutan

atau masuk ke sungai

menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :

ada yang menangis, ada yang mendera

ada yang habis, ada yang mengikis

dan maksud baik kita

berdiri di pihak yang mana !


Sajak Orang Lapar

(W.S. Rendra)


kelaparan adalah burung gagak

yang licik dan hitam

jutaan burung-burung gagak

bagai awan yang hitam


o Allah !

burung gagak menakutkan

dan kelaparan adalah burung gagak

selalu menakutkan

kelaparan adalah pemberontakan

adalah penggerak gaib

dari pisau-pisau pembunuhan

yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin


kelaparan adalah batu-batu karang

di bawah wajah laut yang tidur

adalah mata air penipuan

adalah pengkhianatan kehormatan


seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu

melihat bagaimana tangannya sendiri

meletakkan kehormatannya di tanah

karena kelaparan

kelaparan adalah iblis

kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran


o Allah !

kelaparan adalah tangan-tangan hitam

yang memasukkan segenggam tawas

ke dalam perut para miskin


o Allah !

kami berlutut

mata kami adalah mata Mu

ini juga mulut Mu

ini juga hati Mu

dan ini juga perut Mu

perut Mu lapar, ya Allah

perut Mu menggenggam tawas

dan pecahan-pecahan gelas kaca


o Allah !

betapa indahnya sepiring nasi panas

semangkuk sop dan segelas kopi hitam


o Allah !

kelaparan adalah burung gagak

jutaan burung gagak

bagai awan yang hitam

menghalang pandangku

ke sorga Mu.


Orang Orang Miskin

(W.S. Rendra) Yogya, 4 Pebruari 1978


Orang-orang miskin di jalan,

yang tinggal di dalam selokan,

yang kalah di dalam pergulatan,

yang diledek oleh impian,

janganlah mereka ditinggalkan.


Angin membawa bau baju mereka.

Rambut mereka melekat di bulan purnama.

Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,

mengandung buah jalan raya.


Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.

Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.

Tak bisa kamu abaikan.


Bila kamu remehkan mereka,

di jalan kamu akan diburu bayangan.

Tidurmu akan penuh igauan,

dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.


Jangan kamu bilang negara ini kaya

karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.

Jangan kamu bilang dirimu kaya

bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.

Dan perlu diusulkan

agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.

Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.


Orang-orang miskin di jalan

masuk ke dalam tidur malammu.

Perempuan-perempuan bunga raya

menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan

meraba-raba kaca jendelamu.

Mereka tak bisa kamu biarkan.


Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.

Mereka akan menjadi pertanyaan

yang mencegat ideologimu.

Gigi mereka yang kuning

akan meringis di muka agamamu.

Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap

akan hinggap di gorden presidenan

dan buku programma gedung kesenian.


Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,

bagai udara panas yang selalu ada,

bagai gerimis yang selalu membayang.

Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau

tertuju ke dada kita,

atau ke dada mereka sendiri.

O, kenangkanlah :

orang-orang miskin

juga berasal dari kemah Ibrahim


Maskumambang

(W.S. Rendra) Cipayung Jaya, 4 April 2006


Kabut fajar menyusut dengan perlahan.

Bunga bintaro berguguran

di halaman perpustakaan.

Di tepi kolam,

di dekat rumpun keladi,

aku duduk di atas batu,

melelehkan air mata.


Cucu-cucuku!

Zaman macam apa, peradaban macam apa,

yang akan kami wariskan kepada kalian!

Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.


Kami adalah angkatan pongah.

Besar pasak dari tiang.

Kami tidak mampu membuat rencana

manghadapi masa depan.


Karena kami tidak menguasai ilmu

untuk membaca tata buku masa lalu,

dan tidak menguasai ilmu

untuk membaca tata buku masa kini,

maka rencana masa depan

hanyalah spekulasi keinginan

dan angan-angan.


Cucu-cucuku!

Negara terlanda gelombang zaman edan.

Cita-cita kebajikan terhempas waktu,

lesu dipangku batu.


Tetapi aku keras bertahan

mendekap akal sehat dan suara jiwa,

biarpun tercampak di selokan zaman.


Bangsa kita kini seperti dadu

terperangkap di dalam kaleng utang,

yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,

tanpa kita berdaya melawannya.

Semuanya terjadi atas nama pembangungan,

yang mencontoh tatanan pembangunan

di zaman penjajahan.


Tatanan kenegaraan,

dan tatanan hukum,

juga mencontoh tatanan penjajahan.

Menyebabkan rakyat dan hukum

hadir tanpa kedaulatan.

Yang sah berdaulat

hanyalah pemerintah dan partai politik.


O, comberan peradaban!

O, martabat bangsa yang kini compang-camping!


Negara gaduh.

Bangsa rapuh.

Kekuasaan kekerasan merajalela.

Pasar dibakar.

Kampung dibakar.

Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.

Tanpa ada gantinya.

Semua atas nama takhayul pembangunan.

Restoran dibakar.

Toko dibakar.

Gereja dibakar.

Atas nama semangat agama yang berkobar.


Apabila agama menjadi lencana politik,

maka erosi agama pasti terjadi!

Karena politik tidak punya kepala.

Tidak punya telinga. Tidak punya hati.

Politik hanya mengenal kalah dan menang.

Kawan dan lawan.

Peradaban yang dangkal.


Meskipun hidup berbangsa perlu politik,

tetapi politik tidak boleh menjamah

ruang iman dan akal

di dalam daulat manusia!


Namun daulat manusia

dalam kewajaran hidup bersama di dunia,

harus menjaga daulat hukum alam,

daulat hukum masyarakat,

dan daulat hukum akal sehat.


Matahari yang merayap naik dari ufuk timur

telah melampaui pohon jinjing.

Udara yang ramah menyapa tubuhku.

Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.

Berdengung sepasang kumbang

yang bersenggama di udara.

Mas Willy! istriku datang menyapaku.

Ia melihat pipiku basah oleh air mata.

Aku bangkit hendak berkata.

Sssh, diam! bisik istriku,

Jangan menangis. Tulis sajak.

Jangan bicara.


puisi-terbaik-rendra


Rumpun Alang-alang

(W.S. Rendra)


Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang

Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang

Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal

Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal


Gelap dan bergoyang ia

dan ia pun berbunga dosa

Engkau tetap yang punya

tapi alang-alang tumbuh di dada.


Sajak Sebotol Bir

(W.S. Rendra) Pejambon, 23 Juni 1977


Menenggak bir sebotol,

menatap dunia,

dan melihat orang-orang kelaparan.

Membakar dupa,

mencium bumi,

dan mendengar derap huru-hara.

Hiburan kota besar dalam semalam,

sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !

Peradaban apakah yang kita pertahankan ?

Mengapa kita membangun kota metropolitan ?

dan alpa terhadap peradaban di desa ?

Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,

dan tidak kepada pengedaran ?

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,

Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing

akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam

Kota metropolitan di sini,

adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,

Australia, dan negara industri lainnya.

Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?

Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?

Kini telah terlantarkan.

Menjadi selokan atau kubangan.

Jalanlalu lintas masa kini,

mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,

adalah alat penyaluran barang-barang asing dari

pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan

bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.

Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,

tidak untuk petani,

tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.

Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.

Di mana kita hanya mampu berak dan makan,

tanpa ada daya untuk menciptakan.

Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?

Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?

Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik

yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan­­..

harus senantiasa menghasilkan­.

Dan akhirnya memaksa negara lain

untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?

­­­­­­­

Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?

Apakah pemikiran ekonomi kita

hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?

Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?

Apakah kita akan hanyut saja

di dalam kekuatan penumpukan

yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan

terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?

­­­­­­­.

Kita telah dikuasai satu mimpi

untuk menjadi orang lain.

Kita telah menjadi asing

di tanah leluhur sendiri.

Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,

dan menghamba ke Jakarta.

Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi

dan menghamba kepada Jepang, Eropa, atau Amerika.


Lagu Serdadu

(W.S. Rendra) Siasat No. 630, th. 13 November 1959


Kami masuk serdadu dan dapat senapang

ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang

Yoho, darah kami campur arak!

Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak


Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali

Wahai, tanah yang baik untuk mati

Dan kalau ku telentang dengan pelor timah

cukilah ia bagi puteraku di rumah


Pamplet Cinta

(W.S. Rendra) Pejambon, Jakarta, 28 April 1978


Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.

Memandang wajahmu dari segenap jurusan.


Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.

Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.

Aku merindukan wajahmu,

dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.

Kata-kata telah dilawan dengan senjata.

Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.

Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan

Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.

Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan


Suatu malam aku mandi di lautan.

Sepi menjdai kaca.

Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.

Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.

Sepi menjadi kaca.


Apa yang bisa dilakukan oleh penyair

bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?

Udara penuh rasa curiga.

Tegur sapa tanpa jaminan.


Air lautan berkilat-kilat.

Suara lautan adalah suara kesepian.

Dan lalu muncul wajahmu.


Kamu menjadi makna

Makna menjadi harapan.

Sebenarnya apakah harapan ?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.

Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.

Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.

Aku tertawa, Ma !


Angin menyapu rambutku.

Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.


Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.

Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.

Perutku sobek di jalan raya yang lengang­­.

Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.

Aku menulis sajak di bordes kereta api.

Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.


Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,

aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,

nongol dari perut matahari bunting,

jam duabelas seperempat siang.

Aku terkesima.

Aku disergap kejadian tak terduga.

Rahmat turun bagai hujan

membuatku segar,

tapi juga menggigil bertanya-tanya.

Aku jadi bego, Ma !


Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.

Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,

dan sedih karena kita sering berpisah.

Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.

Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?

Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak.

Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.

Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.


Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,

memandang wajahmu dari segenap jurusan.


Kangen

(W.S. Rendra)


Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku

menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

kau tak akan mengerti segala lukaku

kerna luka telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.

Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.

Apabila aku dalam kangen dan sepi

itulah berarti

aku tungku tanpa api..

Kenangan dan Kesepian


Rumah tua

dan pagar batu.

Langit di desa

sawah dan bambu.


Berkenalan dengan sepi

pada kejemuan disandarkan dirinya.

Jalanan berdebu tak berhati

lewat nasib menatapnya.


Cinta yang datang

burung tak tergenggam.

Batang baja waktu lengang

dari belakang menikam.


Rumah tua

dan pagar batu.

Kenangan lama

dan sepi yang syahdu

Related Posts

Post a Comment

0 Comments