Saat ini saya bekerja di salah satu perusahaan percetakan dan penerbitan buku teks terbesar di Indonesia. Sejak pandemi menghancurkan tatanan sosial dan ekonomi dalam negeri, banyak pegawai yang diberhentikan (PHK) dan terpaksa pensiun dini. Penyesuaian gaji juga telah dilakukan karena penjualan yang lebih rendah. Mereka yang selamat dari PHK itu bersyukur sedangkan saya masih bimbang dengan masa depan buku-buku Indonesia.
Dengan keprihatinan saya, perusahaan fokus mengembangkan bisnisnya (selain buku) untuk menutupi kerugian. Masih terkait dengan pendidikan, perusahaan yang dikenal sebagai penerbit buku perlahan mendistorsi tujuan mulianya untuk berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saya suka membaca buku, tetapi banyak orang yang tidak suka membaca buku, apalagi membeli buku. Rendahnya angka melek huruf di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: Perkembangan teknologi dan media komunikasi yang pesat, kegiatan yang membosankan (tidak serta merta bermanfaat), kebutuhan akan uang untuk membeli buku dan budaya.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun lalu, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara dengan tingkat melek huruf yang rendah. Rendahnya tingkat literasi berdampak pada rendahnya produksi buku dalam negeri. Jumlah total pengukuran dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional sebesar 0,09.
Dengan kata lain, 90 orang Indonesia mengantre setiap tahun untuk setiap buku. Masalah khas rendahnya literasi belum teratasi, dan pemerintah secara aktif menggalakkan gerakan digital. Nasib buku akan menjadi sejarah dan akan digantikan oleh layar digital. Gunakan istilah modern literasi digital untuk mengelabui kegagalan membuat literasi negara menjadi kompetitif.
Percetakan dan penerbit telah dikorbankan dan masa depan Dinas Rahasia Indonesia dipertaruhkan. Tentunya bagi para pecinta membaca seperti saya, mereka akan tetap memilih buku sebagai media literasi. Tentu saja, selain kebiasaan, menulis dari buku melalui proses kurasi yang ketat untuk memberikan bacaan asli oleh penulis.
Ini berbeda dengan literasi digital, yang mencakup banyak intervensi politik, citra, dan motivasi finansial. Dampaknya adalah membanjirnya informasi yang bertentangan dengan berita bohong dan menimbulkan konflik di masyarakat.
Baca Juga : Membaca tanpa Membaca
Nasib Pers Indonesia
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985 memperingati 9 Februari sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia (HPN). Sejak masa reformasi, perkembangan media berita sangat pesat. Kehidupan demokrasi kembali dihidupkan melalui berbagai media.
Pers merupakan salah satu media yang paling efektif untuk mengkomunikasikan keinginan yang tidak bisa ditembus di tingkat parlemen. Media menjadi alat penting untuk mengelola politik dan mengkomunikasikan informasi dari dua perspektif.
Di Indonesia, media ibarat doa agar suara rakyat didengar oleh pemerintah. Perannya tidak hanya untuk melindungi konstitusi, tetapi juga untuk melindungi lingkungan, kesehatan informasi, dan keseimbangan keadilan. Mengungkapkan kasus yang sengaja ditutupi untuk tujuan tertentu. Namun, kapitalisme mengubah persepsi media independen dalam hal politik dan ekonomi.
Media tidak lagi memikirkan independensi informasi. Hal tersebut tidak lagi sejalan dengan tingginya tujuan memberikan berita yang bermanfaat bagi konsumen (pembaca). Menyebarkan berita viral, kehidupan sosial seniman asli, dan penggunaan sistem Clickbait lebih kuat. Jurnalisme telah dihapus dari daftar bidang pekerjaan yang jujur. Padahal, melalui media, kebijakan pemerintah mengandalkan kediktatoran dan anarkisme.
Budaya independensi media mengurangi kepercayaan publik terhadap informasi media. Di era teknologi, masyarakat harus senantiasa berintegrasi dengan media, termasuk konsumsi berita. Menurut laporan dari Reuters Institute, CNN menduduki peringkat media paling andal sebesar 69%, disusul Kompas (67%), TVRI (66%) dan Detik.com (64%). Namun, kepercayaan publik terhadap berita yang disajikan masih relatif rendah (39%).
Hari Kemerdekaan Pers Nasional harus dijadikan sebagai refleksi arah masa depan media. Kami mengutamakan kemandirian, tetapi juga realistis dari sudut pandang ekonomi. Media hanyalah sarana komunikasi bagi manusia. Masa depan media berita akan bergantung pada kualitas dan kuantitas pendidikan masyarakat, dengan mempertimbangkan pasar (ekonomi) media berita, dan akan memenuhi kebutuhan operasional perusahaan.
Bagaimana Anda bisa mengharapkan kemajuan dalam pers ketika literasi masyarakat rendah?
Akhirnya, media telah menjadi alat liberal untuk berbagi berbagai informasi kepentingan tertentu. Masyarakat diberikan informasi paradoks. Pers tidak lagi dianggap sebagai sumber informasi. Di sisi lain, dunia jurnalistik juga sulit bertahan di tengah arus digital yang menghancurkan buku, surat kabar, dan majalah yang menjadi sumber pendapatan utama bagi para pebisnis. Nasib jurnalisme Indonesia semakin terpuruk. Siapapun bisa menjadi "wartawan" tanpa pendidikan atau pelatihan media.
Buat teks dan platform digital yang dapat dibagikan siapa saja dengan siapa saja, terlepas dari keterampilan jurnalisme atau kode etik. Di sisi lain, tidak semua orang pandai memilah dan memilih informasi yang dapat dipercaya.
Perkembangan teknologi media seharusnya membantu masyarakat mendapatkan informasi dengan cepat, namun pada kenyataannya mereka dihadapkan pada informasi palsu yang menimbulkan konflik. Kita harus memperbaiki kehidupan media dengan tetap menghormati tidak hanya kepentingan korporasi kapitalis tetapi juga konsep jurnalisme milik rakyat.
Penulis : (Joko Yuliyanto - Esais)
Dimuat di Solo Pos 14 Februari 2021
0 Comments