Bung Hatta pernah melontarkan kata-kata ampuh yang di kemudian hari menjadi salah satu kutipan unggulan dari penggambaran sosoknya. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Tidak hanya Bung Hatta yang secara khusus menempatkan pembacaan teks sebagai alat pembebasan belenggu ahistoris dan kebodohan, tokoh besar pergerakan Indonesia seperti Tan Malaka dalam Madilog-nya juga pernah berujar soal ini. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
Suara tegas Tan Malaka yang dia prediksi akan lebih lantang menggema ketika ia sendiri sudah di dalam liang kuburpun terbukti benar, manakala catatan-catatan beserta buku karyanya kini dengan bebas dapat dibaca oleh semua kalangan setelah sebelumnya dilarang di era Orde Baru.
Mundur ke belakang lagi, saat peradaban termaju dunia masih berpusat di Mesopotamia dan tepi sungai Nil, di bawah kekuasaan para Firaun di Mesir Kuno, Francis Bacon yang seorang filsuf asal Inggris berujar: “Pengetahuan adalah kekuatan, siapapun pelakunya”. Fir’aun yang abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaannya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Pada saat berkuasa, Fir’aun memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi sebanyak 20.000 buku.
Bung Karno sendiri, tentu tidak terlahir dengan segudang pengetahuan luas akan kebangsaan, lengkap dengan jiwa pemimpin dan kemampuan berpidato yang berapi-api. Itu jelas mustahil tanpa hadirnya buku dan kegemaranya akan membaca dan menulis. Gurunya, Tjokroaminoto-lah yang memperkenalkan buku ke Soekarno muda.
Tentu masih banyak tokoh-tokoh nasional progresif lain yang memiliki kegemaran akan membaca dan menulis. Dari tokoh di atas, kesemuanya juga telah banyak menelurkan buku mereka sendiri. Di antaranya Madilog milik Tan Malaka, Di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno, Alam Pikiran Yunani oleh Hatta dan masih banyak lagi yang lainnya.
Lalu, bagaimana keadaan masyarakat Indonesia saat ini tentang kepedulian dan minatnya akan membaca buku dan menulis? Lembaga survei internasional yang bekerja sama dengan Kemendikbud memiliki data untuk menjawabnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2012 menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat 60 dengan skor 396 dari total 65 peserta negara untuk kategori membaca. Hasil ukur membaca ini mencakup memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan. Skor rata-rata internasional yang ditetapkan oleh PISA sendiri adalah sebesar 500.
Capaian itu tentu turun dibandingkan peringkat Indonesia pada 2009 di urutan 57 dengan skor 402 dari total 65 negara. Pada tahun tersebut, skornya memang naik tetapi peringkatnya turun. Sedangkan pada 2006, Indonesia menduduki peringkat membaca 48 dengan skor 393 dari 56 negara.
Di negara Asia Tenggara, kemampuan terbaik literasi membaca pada penelitian PISA tahun 2012 dipegang oleh Singapura yang menduduki peringkat ke 3 dengan perolehan skor 542. Adapun negara tetangga Malaysia ada di atas Indonesia dengan peringkat 59 dengan skor 398.
Baca Juga : Pers Indonesia dan Literasi Digital
Literasi Bidang Matematika dan Sains Juga Jeblok
Publikasi PISA tidak hanya soal peringkat membaca, tetapi dua hasil pengukuran lainnya yaitu matematika dan sains. Matematika mencakup identifikasi dan memahami serta menggunakan dasar-dasar matematika yang diperlukan dalam kehiduan sehari-hari. Sedangkan sains mencakup penggunaan pengetahuan dan mengidentifikasi masalah untuk memahami fakta-fakta dan membuat keputusan tentang alam serta perubahan yang terjadi pada lingkungan.
Hasilnya, justru tidak jauh lebih baik dari peringkat dan skor literasi membaca. Pada 2012, untuk pengukuran sains, Indonesia berada peringkat 64, nomor 2 dari bawah dengan perolehan skor 382. Sedangkan urusan matematika, Indonesia menempati urutan yang sama persis seperti sains dengan skor 368. Standar internasional untuk skor untuk sains dan matematika juga sama diterapkan sebesar 500.
Di kawasan Asia Tenggara, Singapura lagi-lagi masih menempati skor tertinggi dalam bidang matematika sebesar 573. Singapura ada di peringkat ke 2 dari seluruh negara yang diteliti. Negeri mungil itu juga juara untuk kategori sains dengan skor 551 di peringkat ke 3.
Sementara Central Connecticut State University asal Amerika Serikat merilis data bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilepas pada 9 Maret 2016 lalu. Penelitian itu menempatkan Indonesia di peringkat ke 60 dari total 61 negara.
Posisi lima besar dipegang oleh negara-negara Skandinavia seperti Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia. Urutan keenam dipegang oleh Swiss. Posisi paling ekor tepat di bawah Indonesia ditempati oleh Botswana, sebuah negara Afrika di bagian selatan yang terkurung oleh daratan bekas jajahan Britania Raya.
Studi yang dilakukan oleh John W. Miller selaku presiden Central Connecticut State University ini digunakan sebagai lensa untuk melihat perilaku literasi dan sumber daya yang mendukung mereka seperti jumlah perpustakaan dan pembacaan surat kabar.
Metodologi dalam penelitian tersebut menggunakan dua jenis variabel, yaitu tes prestasi literasi (PIRLS – Progress in International Reading Literacy Study and PISA – Programme for International Student Assessment) dan karakteristik perilaku literasi (populasi, surat kabar, perpustakaan, dan tahun tempuh sekolah).
Buta Huruf
Rendahnya literasi membaca Indonesia itu bisa dikaitkan dengan angka buta huruf di Indonesia yang masih tinggi. Diera teknologi dan informasi yang masif seperti sekarang, tetap tidak menyingkirkan fakta bahwa jutaan penduduk Indonesia masih ada yang buta huruf.
Berdasarkan data Pusat Data dan Statistik Kemendikbud tahun 2015, angka buta huruf di Indonesia masih tinggi yang jumlahnya mencapai 5.984.075 orang. Ini tersebar di enam provinsi meliputi Jawa Timur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat 604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang.
Sedangkan secara persentase, Papua menduduki angka tertinggi. Demikian pula Nusa Tenggara. Sedangkan persentase buta huruf terendah dipegang oleh DKI Jakarta.
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki persentase buta huruf sebesar 4,78 persen untuk usia 15 tahun ke atas, 1,10 persen untuk usia 14-44 tahun dan 11,89 persen untuk usia 45 tahun ke atas. Perolehan tersebut berdasarkan data terakhir mengenai persentase buta huruf tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Data tersebut tentu saja cukup memprihatinkan. Literasi tampaknya belum sepenuhnya dipeluk sebagai suatu budaya yang beriringan dengan kehidupan sehari-hari. Fenomena ini juga bisa dilihat dalam lingkungan sekitar, kebiasaan seperti membaca buku di tempat umum masih langka dijumpai.
Seperti dilansir dari Antara, Pada Rabu 18 Mei 2016 lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membentuk sebanyak 31 kampung literasi di 31 kabupaten untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, juga membangun kemandirian masyarakat.
"Ditargetkan akan ada 514 kampung literasi pada 2019 dengan anggaran Rp160 juta per kabupaten," kata Kasubdit Keaksaraan dan Budaya Bangsa Kemdikbud Samto di sela Dialog Pendidikan "Gerakan Literasi Nasional: Membangun Literasi di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat" di Yogyakarta.
Ketika Mendikbud dijabat Anies Baswedan dicanangkan Gerakan 10 Menit Membaca, bertepatan dengan Hari Buku Nasional tahun 2015. Program ini diklaim merupakan salah satu upaya dari pemerintah untuk meningkatkan minat baca di kalangan generasi muda.
Sangat ironis apabila dalam rentang satu tahun tidak ada satu bukupun yang tuntas dibaca, atau minimal tuntas separuhnya. Belum lagi soal kemampuan menulis yang rendah di tengah banyak sekali kemudahan akses dan teknologi yang sedang membanjiri.
Milan Kundera yang seorang novelis asal Republik Ceko pernah berujar “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Di Indonesia, penghancuran buku memang belum terjadi. Namun, kemerosotan besar dalam literasi ini seharusnya sudah mulai menjadi peringatan.
Pemerintah perlu menyiapkan formulasi lebih mutakhir untuk menumbuhkan budaya literasi jangka panjang. Membangun negara tidak melulu dan hanya berfokus kepada fisiknya, melainkan beriringan dengan pembangunan wawasan beserta segenap sumber daya manusia. Selayaknya para pemikir dan pendiri bangsa yang berhasil memerdekakan pikirannya terlebih dahulu.
Penulis : Tony Firman
Sumber: Opini Tirto
0 Comments