Delusi Literasi Intelektual

Delusi Literasi Intelektual

Intelektualitas bukan lagi menjadi parameter kesuksesan seseorang. Modernitas menarik persepsi masyarakat menilai kesuksesan secara material. Ukuran tersebut yang membawa kualitas manusia mengalami degradasi pengetahuan sebab rendahnya minat baca (literasi). Dipandang sebagai aktivitas yang membosankan, menghabiskan waktu, dan tidak produktif.

Percepatan industri digital memaksa manusia untuk lebih aktif berkreaktivitas mencari pendapatan secara mandiri. Orientasi ekonomi menjadi objek utama meraih kebahagiaan. Intelektualitas sedikit dipinggirkan ketika lembaga pendidikan hanya dijadikan syarat akademik tanpa ada usaha mencetak generasi unggul yang berpengetahuan.

Padahal ilmu pengetahuan disediakan melimpah di dunia digital. Menyajikan berbagai informasi yang sesuai minat bacaan masyarakat. Nyatanya, masih banyak masyarakat yang lebih memilih menggunakan gadget mereka untuk eksis di media sosial.

Membaca dan menulis membutuhkan niat disertai usaha yang kuat. Generasi milenial lebih menyukai sesuatu yang instan untuk mendapatkan uang daripada menambah wawasan dengan membaca. Sekalipun tidak memaksa diri untuk produktif (mencari uang), mereka lebih suka healing atau mencari hiburan dengan games atau nonton video di YouTube.

Di zaman teknologi digital telah memungkinkan buku dibuat tanpa kertas (paperless). Format audio book memudahkan seseorang mendengarkan isi sebuah buku yang dibacakan atau dinarasikan oleh narator. Meskipun penetrasi buku menjangkau khalayak yang lebih luas. Namun buku tetaplah menjadi karya otentik dari penulis, sementara diskusi atau ceramah sudah menjadi opini atau sumber skunder. Dampaknya, generasi milenial gampang terdoktrin dan tergiring opini untuk membenci atau menyukai sesuatu.

Sebagai generasi milenial butuh refleksi terhadap Bung Karno sebagai tokoh bangsa yang memimpin karena kepiawaiannya dalam berliterasi. Kegemaran Soekarno membaca membawanya dalam berbagai pemikiran ideologi. Ada peradaban megah dari pikirannya untuk mengangkat harkat martabat bangsa sebab pembendaharaan literasi yang berkualitas.

Padahal ketika itu penyediaan buku tidak semudah sekarang yang mulai banyak disediakan di ruang-ruang digital. Seokarno bukan hanya hobi membaca, namun pemikirannya juga banyak dituangkan dalam bentuk tulisan (buku). Kualitas pemimpin doyan literasi yang akhirnya menciptakan generasi unggul dan berwawasan luas.

 
Baca Juga : Pers Indonesia dan Literasi Digital 

Pilar Literasi Digital

Berdasarkan data Perpusnas (2019), jumlah perpustakaan di Indonesia mencapai 164.610. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah infrastruktur perpustakaan terbanyak kedua di dunia setelah India yang memiliki 323.605 perpustakaan. Namun jumlah perpustakaan tidak berbanding lurus dengan budaya baca (melek literasi) masyarakat.

Mengakali masyarakat yang malas pergi ke perpustakaan, pemerintah mencoba melakukan inovasi literasi digital dengan dalih mengikuti perkembangan zaman. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membentuk Road Map Literasi Digital 2020 - 2024 dengan empat pilar literasi digital seperti cakap digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital. Aspek-aspek ini merupakan komponen ideal untuk mendefinisikan terbentuknya kemampuan literasi digital masyarakat.

Namun program tersebut tidak mengatasi problem rendahnya minat literasi di Indonesia. Pilar literasi digital secara esensi hanya himbauan dan aturan mengenai praktek penggunaan media digital. Kemerosotan berliterasi dipengaruhi juga membanjirnya informasi di dunia digital yang tidak tersaring hingga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap “perpustakaan digital”.

Masyarakat lebih tertarik membaca opini dari status orang lain di media sosial daripada membaca buku secara digital. Selain membuat tidak nyaman mata, literasi digital tidak menawarkan sesuatu yang menarik bagi masyarakat agar doyan membaca. Apalagi persepsi tentang suguhan bacaan tidak berkualitas yang disediakan di ruang digital.

Pemerintah melalui perpusnas bahkan mendorong inovasi literasi digital yang masih asing bagi masyarakat seperti penerapan Indonesia OneSearch (IOS), aplikasi perpustakaan digital (iPusnas), Layanan e-Resources, dan Layanan International Standard Book Number (ISBN) Online. Kebijakan perpusnas masih kalah dengan kapitalisasi media yang menyajikan berita hoaks, click bait, dan opini bebas pembaca.

Menurut UNDP dalam Education for All Global Monitoring Report (2006:144) menjelaskan adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia melalui literasi. Indonesia perlu memberikan layanan perpustakaan berbasis cloud computing, big data analytics, artificial intelligence, dan digital business. Sehingga perpustakaan bukan hanya berfungsi sebagai wahana pendidikan, namun juga menjadi sarana penelitian, pelestarian, informasi, hingga rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Namun yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana upaya untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya berliterasi. Sehingga Isu Society 5.0 mampu memfasilitasi masyarakat yang lebih banyak menuntut kemudahan dan transparansi dalam pelayanan publik. Pekerjaan Rumah yang besar bagi pemerintah mengingat potensi bonus demografi Indonesia dengan penyediaan informasi bacaan yang melimpah namun tidak menciptakan generasi yang berkualitas dengan budaya literasi.***

 

Joko Yuliyanto

Esais


Related Posts

Post a Comment

0 Comments