PARTAI LITERASI - Bagaimana kau bisa bahagia? Menjawab pertanyaan dari guru saja kau tak bisa, malu kan? teman-teman menertawaimu.
Bagaimana kau bisa bahagia? Menggunakan sumpit untuk makan saja kau tak bisa, marah kan? padahal di situ tidak ada garpu dan sendok.
Bagaimana kau bisa bahagia? Teman-temanmu sudah berangkat ke Grand line, tapi kau masih saja mager di kamar.
Bagaimana kau bisa bahagia? Teman-temanmu sudah bisa menghafalkan Alquran sedangkan kau membaca Iqro’ pun masih terbata-bata.
Prof. H. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D Al Hafidz berkata , “Jika sumber ketidakbahagiaan, sumber kesengsaraan, berasal dari hal yang sederhana yakni kebodohan,” Beliau mengutip pernyataan dari Ibn Hazm, al-Faqih dari Cordova Andalusia.
Makanya, Belajar! Belajar! Belajar! Supaya tahu, supaya tidak bodoh. Sebagaimana yang dituturkan Imam Syafi’i , “Belajarlah! Karena tidak ada manusia yang dilahirkan dalam keadaan pintar,”
Bodoh sekarang pun tak apa, tetapi jangan rawat kebodohanmu dengan diam. Perlu diingat, dalam proses belajar, jangan sekali-kali kau mendahulukan istirahat sebelum lelah. Seperti dalam kitab Diwan Asy-Syafi’i, Imam Syafi’i menyebutkan,“Barang siapa yang belum merasakan pahitnya belajar sesaat, maka ia akan mengecap pahitnya kebodohan seumur hidupnya,”
Pencari ilmu memang harus lelah dan rela berkorban apa saja. Sebab, ilmu tidak akan memberikan separuh dirinya jika tidak memberikan seluruh dirimu untuk ilmu. Fokuskan dirimu kepada ilmu, mumpung masih diberi kesempatan, mumpung masih diberi umur, mumpung masih diberi napas sampai detik ini. Kalau kau main-main dan tidak fokus, dan menduakan ilmu, sehingga apa yang kau peroleh hanya sedikit, nanti akan menyesal karena menyia-nyiakan semua kesempatan.
“Barang siapa yang tidak menuntut ilmu di waktu mudanya, bertakbirlah empat kali untuk kematiannya,”
Nah Imam Syafi’i saja meyindir orang-orang yang telah diberi kesempatan untuk menuntut ilmu di masa mudanya, namun menyia-nyiakannya. Mereka ibarat orang yang sudah mati dan berhak disalati (dengan mengumandangkan takbir 4 kali). Apakah kau mau???
Baca Juga : Delusi Literasi Intelektual
Bacalah!
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,” (Q.S Al-Alaq :1)
Sudahkah kau membaca hari ini ? Membaca merupakan salah satu bentuk belajar. Jangan mengaku pencari ilmu kalau kau jarang sekali membaca. Membaca itu tidak hanya di buku, kitab, atau tulisan-tulisan yang tertera di atas kertas, tetapi juga bacalah pula ayat-ayat cinta-Nya yang bertebaran di muka bumi ini.
Archimedes telah membaca air yang tumpah ketika dirinya masuk ke dalam bathtub. Kemudian, ia memelaah, meneliti, dan mempelajari hal itu secara sungguh-sungguh. Akhirnya, ia berhasil melihat salah satu ketentuan Tuhan. Maka bacalah, kaitkan semuanya dengan Tuhan dan renungkanlah, berpikirlah secara mendalam, lalu evaluasi diri.
Kalau di masa mudamu ini kamu lebih memilih bucin, tinggalkan saja ilmu! Lalu, aku akan bertakbir untukmu sebanyak 4 kali dan menggelar tahlilan sebagai tanda atas kematianmu. Seperti 2 kiasan bait alfiyah di bawah ini:
“Laki-laki yang datang kepadamu membawa perasaan dia hanya akan mencegah kekuatan jiwamu dalam belajar,” (Alfiyah Ibnu Malik: 650 )
“Sedikit sekali orang yang terbuka hatinya untuk mendalami ilmu karena hatinya selalu tertuju pada sang kekasih, dan ilmu yang diperoleh hanya sedikit,” (Alfiyah Ibnu Malik: 754)
Masa produktif manusia itu juga terbatas. Masa hijau dan terbaik dalam belajar, memahami ilmu baru, menghafal, dan lain-lain itu kisaran umur 15 hingga 25 tahun, bukan umur 25 tahun tidak bisa produktif lagi. Bukan begitu.
Maksudnya, jika kau masih usia hijau banyakin belajar, banyakin membaca, latihan berbicara (public speaking), mentalnya diasah, kreativitasnya dilatih, kepemimpinannya diuji. Agar jika kau sudah di usia matang, sudah siap menikah. Sudah siap menjadi apapun disegala kondisi.
Tidak ada alasan lagi jika takdirmu kelak sebagai Ketua DPRD disuruh pidato di depan umum bilang, “Aduh aku tu gak bisa ngomomg,”
Memang belajar tak mengenal usia dan waktu. Ketika kau sudah menikah, kau akan memberikan separuh bahkan seluruh jiwamu kepada pasanganmu. Jika pasanganmu sekufu denganmu, kau bisa terus belajar dan bahkan lebih baik dari masa mudamu dulu.
Akan tetapi jika pasanganmu tidak sekufu denganmu, kau akan tenggelam dalam cintanya, kamu akan jadi bucin, tidak mungkin kau bisa terus belajar, pasanganmu saja tidak mendukungmu pun tidak mau belajar. Kau akan sangat letih karena belajar sendiri, kau akan terluntang-luntang dan kau tidak akan bahagia karena kebodohanmu di masa mudamu dulu, menyia-akan kesempatan belajar. Dan kau sekarang sudah menikah dan menjadi milik orang .
Percayalah, semua akan datang pada waktu-Nya jika kamu memang ditakdirkan untuk segera menikah. Lihatlah banyak pasangan juga yang bercerai karena kebanyakan masalah, entah karena ekonomi, perselingkuhan, KDRT, dan lain lain.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2022, “Sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara,” Data BPS tersebut hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja.
Sedangkan, berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama terdapat sejumlah penyebab dari perceraian antara lain faktor perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu, KDRT, mabuk, murtad, dihukum penjara, judi, poligami, zina, kawin paksa, cacat badan, madat, dan lainnya.
Jadi akar masalah kasus perceraian tersebut karena apa? Karena mereka tidak punya ilmu dan tidak mau belajar dari pelbagai macam problematika hidup. Intinya jika kau punya pegangan ilmu akan tahu arah yang benar. Kau tidak akan tersesat dan akan bahagia sebab ilmu adalah cahaya.
Sebenarnya urusan dunia itu gampang, yang terpenting adalah kau cari ilmu-Nya terlebih dahulu maka kelak kau akan bisa mendapatkan apa yang diingingkan. Imam Syafi'i pun berkata:
“Barang siapa yang menginginkan dunia maka harus dengan ilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat juga harus dengan ilmu,”
Semoga kita semua menjadi ahli ilmu, dan mau untuk terus belajar, belajar, dan belajar.
Penulis: Siti Aisyah - Partai Literasi
0 Comments