Pentingnya Edukasi Selebritas

Edukasi Selebritas

PARTAI LITERASI - Bicara tentang kehidupan selebirtas, masyarakat perlu menyadari tentang filterisasi informasi yang bermanfaat atau sebaliknya. Selebritas juga bagian dari masyarakat yang berpotensi melakukan kesalahan dalam perkataan maupun tindakan. Meski fanatisme kadang mereduksi nalar kritis terhadap pesohor yang diidolai.

Kebebasan berekspresi menjadi dalih selebritas melakukan hal-hal yang melanggar nilai-nilai budaya dan keagamaan. Masyarakat disajikan tontonan yang tidak layak konsumsi. Sementara selebritas sekonyong-konyong memberikan pernyataan kepada masyarakat untuk cerdas memilih konten yang sesuai kebutuhannya. Tidak ada paksaan untuk menonton kontennya.

Kita tidak bisa berharap lebih tentang konten yang mengedukasi kepada selebritas ketika orientasinya adalah popularitas dan pendapatan. Aturan hukum juga tidak jelas dan tegas memberikan arahan pada konten yang ditampilkan di platform digital yang saat ini menjadi kebutuhan primer masyarakat. Dampaknya, banyak masyarakat hingga anak-anak mengikuti pola perilaku selebritas yang ditontonnya.

Pengaruh selebritas terhadap perubahan budaya perlu dianalisis untuk menentukan kebijakan penyiaran. Tokoh publik harus punya tanggung jawab moral, selain kebutuhan komersial. Apalagi fungsi pendidikan formal banyak digantikan dengan pendidikan digital. Anak-anak yang dibiasakan menonton konten selebritas punya naluri meniru perkataan dan perilaku yang kadang tidak sesuai etika (nilai dan norma) di masing-masing daerah.

Dunia digital yang menampilkan pesohor tanah air sudah menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat. Realitanya, pola pikir dan perilaku di masyarakat sudah tidak sejalan dengan perkembangan teknologi digital. Goncangan budaya membawa masyarakat pada titik krisis identitas. Masyarakat tidak lagi berpikir rasional, kritis, sistematis, dan reflektif di berbagai bidang kehidupan.

Media sosial menjadi medium menampilkan citra sebagai perwujudan abstraksi realita. Membangun persepsi atas bayangan realita. Kanalisasi pemikiran dalam program media sosial diarahkan membentuk pola perilaku tertentu. Dalam negara hukum demokratis, selebritas harus diedukasi dan dilatih secara moral. Tidak menyajikan tontonan yang membodohkan dan mengarah pada perilaku menyimpang.


Baca Juga : Delusi Literasi Intelektual

Etika Selebritas

Industri digital menjadi tawaran menarik secara ekonomi. Jutaan orang berlomba membuat konten untuk meraih popularitas (viral) dan keuntungan. Banyak selebritas dadakan keluar dari pekerjaan konvensional dan memilih menekuni dunia digital. Memanfaatkan paltform digital seperti YouTube, TikTok, Instagram, hingga Facebook.

Beberapa di antaranya rela melakukan aktivitas ekstrem seperti menyiksa orang tua (mandi tengah malam), membuat konten pornografi, hingga aksi Ria Ricis mengajak anaknya (balita) bermain jetski. Dalam program pendidikan parenting, kegiatan Ria Ricis jelas tidak layak dicontoh sebab berpotensi pada risiko kecelakakan pada anak. Namun kurangnya sikap kritis masyarakat, malah banyak yang mendukung aksi YouTuber tersebut.

Banyak lagi perilaku selebritas yang dijadikan konten tidak berorientasi pada pendidikan selain sikap kebodohan yang bakal ditiru banyak masyarakat, khususnya fansnya. Meski ketenaran kadang tidak diperoleh dengan niat dan usaha, menjadi selebritas harus siap risiko pada tanggung jawab moral. Maju dan hancurnya generasi mendatang bergantung pada sajian tontonan dari selebritas.

Bukannya menyesal, banyak selebritas yang semakin ngawur membuat konten dengan dalih kebebasan berekspresi. Prihatinnya, banyak generasi milenial yang malah antusias menyaksikan tontonan yang jauh dari moralitas bangsa. Semakin banyak kemunculan platform digital yang menjamin popularitas dan pendapatan, semakin bodoh dan berani masyarakat membuat konten agar viral.

Selebritas harus menyadari posisinya sebagai tokoh yang punya banyak pengaruh. Ketika menuntut diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya, mereka harus bersedia meninggalkan gemerlap dunia digital. Selebritas harus menyadari dirinya sebagai produsen konten, bukan konsumen. Produsen berarti harus punya standar produk yang layak untuk dikonsumsi masyarakat.

Selebritas punya kebebasan menjual kesedihan, kekayaan, keteraniayaan, dan kebodohan di internet. Tidak semua orang punya kapabilitas menyaring informasi dan kritis terhadap konten digital. Penggunaan media sosial oleh kaum muda telah menjadi cara hidup dan aktivitas pribadi yang dibuat untuk publik (Edge, 2017).

Media sosial menambah volume dan frekuensi konten pada ranah yang jauh lebih personal. Kesadaran media sosial merupakan praktik perusakan diri didorong oleh perasaan ingin mencari sensasi atau perhatian dari publik. Setelah mencapai kepopuleran, mereka melakukan segala konsekuensi yang membahayakan diri dan orang lain (penonton konten).

Mengumbar ranah privasi yang tidak dibekali dengan edukasi dan etika sosial membahayakan perilaku masyarakat. Apalagi akses dunia internet banyak yang lepas dari pengawasan dan bimbingan orang tua. Selebritas tidak peduli dampak konten yang disajikan selain popularitas dan keuntungan. Sementara bangsa Indonesia menjadi korban kegagalan mengedukasi selebritas dalam membuat konten.***



Penulis : Joko Yuliyanto - Partai Literasi

Related Posts

Post a Comment

0 Comments