Literasi Bukan Soal “Membaca” dan “Buku” | Artikel Opini Kompas

membaca dan buku

PARTAI LITERASI - Seharusnya literasi sudah menjadi budaya modern suatu bangsa. Namun, ada kesalahan pada konteks literasi yang di Indonesia baru menjadi gerakan walaupun masif. Literasi selalu terkait dengan membaca dan buku, khususnya keterbatasan jumlah dan tingginya harga sehingga tidak terbeli oleh masyarakat. Sepintas benar bahwa literasi selalu identik dengan membaca dan menjadi keniscayaan: dipertentangkan tajam dengan kebudayaan lisan.

Lantas bagaimana dengan masyarakat yang tidak membaca, apakah mereka tergolong bangsa yang tidak literat? Apakah mereka bisa diklaim sebagai kelompok sosial yang tidak berpengetahuan? Bahkan, mereka dimarjinalkan sebagai masyarakat yang tidak belajar atau tidak memiliki kecakapan hidup dan kebijaksanaan?

Padahal, literasi terkait dengan revolusi kognitif Homo sapiens sehingga otak manusia bekerja pada salah satu divisi pengembangan rasa ingin tahu yang menjadi genetik hasrat manusia mendapatkan pengetahuan dan belajar. Pengetahuan sebagai ”kurikulum” belajar terkait dengan kecakapan untuk hidup manusia dan hanya manusia yang berpengetahuan yang dapat hidup membangun peradaban dan koloni. Untuk mengumpulkan dan menguasai pengetahuan, manusia mengembangkan hasrat ingin tahu.

Pada awalnya, aktivitas belajar ditopang oleh ingatan dan ini berlangsung sangat lama sampai manusia menemukan aksara untuk membantu otak dalam mengelola memori. Teknologi tulis dan baca dimanfaatkan secara melembaga dalam membangun peradaban pengetahuan. Terjadi migrasi dari ingatan ke aksara. Semua pengetahuan yang ada dalam ingatan kolektif berpindah ke atas alas tulis. Pustaka dihasilkan dari pusat-pusat peradaban sampai terbangun gedung-gedung baru tempat menyimpan pustaka. Para penulis bekerja dan diikuti oleh terbentuknya masyarakat pembaca.

Membaca adalah jalan yang paling banyak dan mudah dilakukan dalam tradisi budaya masyarakat Barat. Semua pengetahuan ditulis dan disimpan dalam tulisan atau pustaka. Untuk mendapatkan pengetahuan, manusia harus membaca, harus membeli buku, harus mengunjungi perpustakaan; dan itu menjadi kehidupan bersama dalam kebudayaan. Karena tingginya kebutuhan manusia akan pengetahuan, lahirlah para penulis untuk menyuplai kebutuhan ini.

Literasi adalah pengetahuan; apa pun itu! Jadi, literasi sama sekali bukan persoalan membaca.

Para penulis menyampaikan pemikiran, teori-teori, tata nilai masyarakat, filsafat, dan lain-lain bukan di dalam kelas, melainkan di hadapan sekelompok pendengar; bukan secara lisan, melainkan dengan tulisan, dengan buku, dengan surat kabar, dengan majalah. Pokoknya berbagai produk cetakan, dan ini adalah ciri yang paling hebat dari kebudayaan kertas, tinta, dan cetak karena besarnya sumbangan teknologi yang diberikan oleh kebudayaan manusia selama 500 tahun; sehingga manusia mendapatkan berbagai pengetahuan dari dalam dunia kertas, dalam dunia cetak.

Di situ kapitalisme cetak yang merajai dan menguasai ideologi, politik, pendidikan filsafat, dan lain-lain karena semua pengetahuan telah ditulis, dan membaca adalah bagian terpenting dan prestisius. Menulis adalah juga jaringan yang terpenting. Semua itu dilembagakan dalam kebudayaan tertulis. Masyarakat yang membaca memiliki kecakapan hidup dan pengetahuan, kebijaksanaan, daya kritis, dan dapat melakukan analisis dalam kehidupan; menerapkan ilmu yang dimiliki pada kehidupan sehari-hari. Pengetahuan memiliki makna dan nilai-nilai bagi manusia.

Namun, literasi mengalami penyempitan makna yang selalu hanya dipahami dan dikaitkan dengan membaca dan buku. Membaca adalah perilaku untuk mendapatkan pengetahuan di dalam buku yang tertulis. Sementara buku adalah media untuk menyimpan pengetahuan secara fisik di mana huruf-huruf dicetak dan di dalamnya pengetahuan seolah disimpan.

Pengetahuan sejatinya ada di dalam pikiran manusia. Karena pengetahuan itu secara fisik ada di dalam buku dan aksara atau tulisan, orang-orang yang bertanggung jawab atau orang-orang yang belajar adalah orang-orang yang literat. Orang-orang yang terpelajar inilah wujud nyata dari dampak kebudayaan literasi.

Literasi adalah pengetahuan; apa pun itu! Jadi, literasi sama sekali bukan persoalan membaca. Membaca dan buku adalah dunia permukaan karena dalam sejarahnya yang panjang sejatinya, literasi sebagai pengetahuan. Telah terbukti bahwa banyak sekali dan bahkan seluruh bidang kehidupan ini bisa terkaitkan atau dikombinasikan dengan literasi sehingga literasi ini terasa sangat penting karena bisa berbicara literasi dalam konteks apa saja dan tidak terbatas atau sangat luas dan penuh dengan kebebasan. Itu pertanda bahwa pengetahuan manusia tidak terbatas. Semesta pengetahuan manusia itu tidak bisa dibatasi dan tidak pernah habis dipelajari.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa literasi itu tidak sama dengan membaca. Membaca dan buku adalah permukaan bentuk teknik dan fisik dari literasi. Jiwa dan esensi literasi adalah semesta pengetahuan yang sangat luas. Dapat dimafhumi, mengapa membaca dan buku selalu terkait dengan literasi karena secara fisik adalah yang paling tampak nyata dari cara manusia mendapatkan pengetahuan; yaitu dengan membaca buku atau material tertulis atau cetak lainnya.

Esensi literasi adalah bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan dan bagaimana manusia belajar untuk mendapatkan pengetahuan. Dalam hal ini belajar bersifat lisan dan tertulis. Literasi jangan diukur dari minat baca, jumlah buku yang dibaca, jumlah buku yang dicetak per tahun, jumlah pembaca dan pembeli buku, penyebaran buku dan perpustakaan. Namun, literasi terkait dengan keluasan pengetahuan yang didapat secara lisan, secara langsung ataupun dengan cara membaca dan menulis. Marilah jangan selalu menuduh bangsa ini berbudaya literasi rendah semata-mata hasil tes.

 

Baca Juga : Literasi Indonesia yang Belum Merdeka | Artikel Opini Tirto

Diukur dari pengetahuan

Literasi harus diukur dari pengetahuan yang mereka miliki. Yang harus dipersoalkan adalah bagaimana manusia itu kalau tidak berminat kepada pengetahuan. Literasi tidak selalu berbicara tentang tidak suka membaca. Literasi adalah pengetahuan yang bisa dimiliki oleh manusia. Pengukuran literasi harus berpijak kepada pengukuran pengetahuan yang dikuasai. Telanjur merasa hebat mengaitkan literasi dengan jumlah buku dan perbandingannya dengan jumlah penduduk. Mengukur berapa buku yang dibaca, dan ini adalah produk pemikiran kapitalisme cetak, terutama pada divisi industri dan pasar.

Industri buku bisa dianalogikan dengan perusahaan kue. Jumlah buku yang dibaca sama dengan jumlah kue yang dimakan. Semakin banyak pembaca makan, pasar buku semakin menjanjikan. Namun, kapitalisme cetak, industri buku selalu bijak dan alim di atas ideologi yang semu, yakni demi budaya baca yang sangat dimuliakan oleh modernisme. Apa yang sering dibicarakan atau dikampanyekan oleh penerbit besar tiada lain karena ada kepentingan pasar. Semakin banyak buku yang dibaca dan semakin banyak membaca, maka mereka untung.

Literasi adalah pengetahuan yang bisa dimiliki oleh manusia. Pengukuran literasi harus berpijak kepada pengukuran pengetahuan yang dikuasai.

Yang terpenting dari literasi adalah pengetahuan yang dikuasai karena itulah harus berhenti membicarakan literasi dari segi membaca dan buku, perpustakaan. Mari renungkan ulang bagaimana pengetahuan dimiliki; bagaimana kalau dibandingkan dengan bangsa lain.

Berbicara mengenai literasi yang tidak hanya berkaitan dengan yang tertulis telah terbukti dengan munculnya digitalisme. Peradaban kertas, kebudayaan cetak, menguasai manusia dan memberi keuntungan hanya kepada kaum kapitalisme yang menanamkan modalnya untuk menggerakkan mesin-mesin industri percetakan dan penyebaran buku ke seluruh dunia.

Saat ini dunia cetak sedang mengalami disrupsi dunia digital. Cara-cara manusia membangun, menyebarkan, mendapatkan pengetahuan lewat dunia digital sering dikritik dan dianggap rendah. Apa pun pengetahuan yang ada di dunia digital sering tidak dipercayai sebagai pengetahuan. Meski demikian, telah lahir generasi digital dengan dunia disrupsi di mana mereka belajar dan memanfaatkan berbagai sumber digital untuk mendapatkan pengetahuan. Mereka sama sekali kurang peduli dengan kanon-kanon pengetahuan yang dibangun oleh kapitalisme cetak.

Apakah mereka tidak layak disebut kaum literat. Karena itu, harus berhenti berbicara literasi yang sama artinya membaca buku cetak dan tinta, buku yang tersampul, tetapi kita harus beralih kepada literasi digital.

Jauh sebelum literasi digital dan adanya literasi tulis cetak (buku), ada yang disebut dengan literasi lisan di mana manusia membangun peradaban lisan dan di dalam dunia lisan ini manusia memiliki pengetahuan. Kebudayaan buku, kebudayaan kertas yang masih diagungkan sekarang ”menuduh” peradaban digital lebih rendah daripada peradaban tulis.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam memahami literasi. Kekeliruan ini tidak terlepas dari kuasa kapitalisme cetak. Yang terpenting saat ini adalah memahami literasi dari aspek pengetahuan dan cara manusia mendapatkan pengetahuan, maka setidaknya manusia melewati masa yang panjang dalam mendapatkan dan membangun pengetahuan itu, yaitu dengan cara lisan, cetak, dan digital.

 

Penulis :
I Wayan Artika, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

Muat di Kompas 

Related Posts

Post a Comment

0 Comments