Menggemakan Dunia Filsafat

Dunia Filsafat

PARTAI LITERASI - Radikalisme masih menjadi objek menarik melucuti kelompok politik dan agama. Kata yang semula diartikan sebagai gagasan mendasar dan maju dalam berpikir atau bertindak dikonotasikan sebagai aliran gerakan yang amat besar untuk menuntut perubahan. Kemudian disematkan pada ajaran agama yang diafiliasikan dalam bentuk politik identitas untuk menyunat kantong suara di pemilu.

Dalam beberapa hal terkait nilai keagamaan, radikalisme kerap disematkan pada kelompok Islam puritan yang kemudian diarahkan dalam gerakan “kriminalitas” dan terorisme. Istilah wahabisme, hizbut tahrir, hingga salafi dijadikan dalih menyerang ideologi yang berseberangan. Nahdlatul Ulama tampak organisasi yang paling getol menarasikan ketidaksetujuannya dengan ajaran Islam konservatif yang tumbuh subur di media sosial.

Tak ayal, banyak santri dan ustaz dari kalangan nahdliyin “perang medsos” untuk memberikan argumentasi kontra-narasi ulama-ulama wahabi. Menyuguhkan dalil dan logika berpikir tentang konsep agama yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun dogma dan fanatisme mengenai keyakinan menyebabkan perbedaan terhadap penafsiran agama selalu dijadikan materi perdebatan.

Dengan bumbu politis, agama terlihat sebagai alat melegalkan kebencian dan kekerasan. Memanfaatkan tren islamisme modern untuk menggiring opini publik membenci individu atau kelompok lain. Kerentanan pemahaman agama secara komprehensif mengabaikan bahaya kebencian agama seperti perang saudara di Timur Tengah.

Bahkan saking meloyanya, pemerintah menyusun strategi khusus (dalam bentuk kebijakan) untuk menangani penyebaran paham radikalisme. Lembaga BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), hingga Densus 88 bergerak aktif melawan radikalisme agama. Pemerintah juga berafiliasi dengan lembaga negara, kepolisian, dan akademik untuk menahan laju persebaran ajaran radikalisme.

Bulan Juli 2022, BNPT menyebut ada 33 juta penduduk terpapar radikalisme di Indonesia. Kemudian media memberikan framing tentang bahaya radikalisme dalam tatanan sosial, agama, dan kedaulatan. Mengidentifikasi ideologi agama tertentu terhadap gerakan radikalisme tentu dinilai tidak adil. Apalagi Indonesia kerap menggaungkan sistem demokrasi dan pancasila yang menghendaki adanya hak kebebasan beragama.

 

Baca Juga : Sadarilah Bahwa Engkau Tergolong Manusia Ngeyelan

Kontemplasi

Kesalahan melihat perilaku kriminalitas atas nama agama hingga bom bunuh diri tidak bisa dilimpahkan pada keputusan seseorang meyakini prinsip beragama yang disediakan di lingkungan atau media digital. Semua punya hak untuk fanatik pada ulama dan ajaran yang dianggapnya baik. Dalam orientasi “perebutan umat”, seharusnya masing-masing ideologi atau aliran agama menyajikan platform atau konten yang menarik sebagai wadah mengajarkan ilmu, bukan dengan menghakimi kajian kelompok lain.

Kita perlu berkaca pada pernyataan Prof. Koentjaraningrat bahwa mental manusia Indonesia itu tidak suka berpikir logis, tidak suka berusaha gigih dan tekun, suka menerabas dan meremehkan mutu, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan suka mengabaikan tanggungjawab. Begitu juga dengan kritikan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia pada umumnya bermental munafik, berjiwa feodal, percaya takhyul, berwatak lemah, boros, malas, suka mengeluh, mudah dengki, arogan, dan tukang tiru.

Itulah yang menjadi dasar Jokowi aktif menyuarakan revolusi mental. Bahwa karakter dan sifat manusia Indonesia -termasuk kita sendiri- jauh dari kata tercerahkan. Dari nilai budaya, perlu diakui bahwa kita adalah bangsa yang suka meniru gaya hidup negara lain. Sementara dalam ranah agama, ideologi transnasional mudah tersebar melalui media daring. Keterbelakangan mental bangsa diperparah dengan miskinnya nilai spiritualitas yang berdampak pada sikap anti kebijaksanaan.

Perlu banyak perubahan dari lembaga pendidikan untuk membiasakan masyarakat berpikir logis dan sistematis. Sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh dogma agama yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Kepatuhan berpikir dimuali dari penyediaan pelajaran filsafat untuk mengajari berpikir runtut. Masyarakat harus dibiasakan belajar filsafat untuk menghilangkan stigma negatif tentang pertentangan ajaran agama dan filsafat.

Agama harus bisa dipahami secara logis ketika ilmu pengetahuan tersebar di internet. Ketidakcakapan belajar agama tanpa dilandasi pikiran yang logis berimplikasi pada rendahnya kualitas keyakinan seseorang. Agama dianggap sebagai objek suci yang dilarang untuk dipertanyakan dan dikritisi. Perdebatan seputar dalil atau tafsir agama tidak akan pernah menemukan jalan keluar selain kepatuhan pada logika berpikir.

Sayangnya, kajian filsafat masih dianggap tabu bagi kalangan muslim. Bahwa belajar filsafat rentan pada pembentukan keyakinan atau idelogi liberalisme. Ketika menjelaskan masalah agama dengan dasar filsafat akan mudah dicap liberal, sementara pikiran konservatif akan dicap radikal. Demikian yang menjadi bahasan rutin dalam beragama di media sosial.

Padahal akar tumbuhnya paham radikalisme dan sifat kebencian dimulai dari kemalasan masyarakat -termasuk kita sendiri- untuk berpikir. Sementara landasan berpikir adalah filsafat. Sebuah hadis dari kitab al-Awsath, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Ciptaan Allah pertama adalah akal. Lalu, Allah memerintah kepada akal, 'Menghadaplah', akal itu pun menghadap. Lalu Allah memerintahkan, 'Renungkanlah', maka akal itu pun merenung,”***


 PenulisJoko Yuliyanto - Partai Literasi

Related Posts

Post a Comment

0 Comments