Karakter adalah pusat cerita anda. Cerita berjalan mengikuti rangkaian sebab akibat yang berlangsung di seputar kehidupan karakter itu. Itulah mengapa menarik dan tidaknya sebuah cerpen bergantung pada cara membuat karakter tokoh cerpen pengarangnya. AS. Laksana membagikan pelajaran tentang bagaimana merakit karakter dalam cerpen yang menarik.
Dia punya keinginan, karena itu dia melakukan sesuatu.
Dia mendapatkan kesulitan, karena itu dia melakukan sesuatu untuk mengatasi kesulitan.
Dia mendapatkan hambatan, karena itu dia harus menyingkirkan hambatan itu.
Dia disalahpahami orang lain, karena itu dia harus melakukan sesuatu untuk membereskan kesalahpahaman orang itu.
Dia memiliki keyakinan diri yang rendah, karena itu dia harus memiliki keyakinan diri yang tinggi untuk mengatasi masalahnya. Itu berarti dia punya konflik dengan dirinya sendiri.
Dia menghadapi konflik, karena itu dia harus menyelesaikannya.
Dia mengalami situasi sangat emosional, karena itu dia harus menyeimbangkan lagi kehidupannya.
Dia menghadapi krisis besar, karena itu dia harus melakukan tindakan besar untuk keluar dari krisis itu. Mungkin hanya satu kali dalam hidupnya, sebab pertaruhannya besar dan jika dia gagal dia hancur lebur.
Beri karakter anda situasi sangat menekan secara emosional; itu akan membuat pembaca bisa merasakan apa yang dirasakan karakter. Pembaca tahu rasanya berada dalam situasi seperti itu; mereka sudah mengalami segala macam emosi di dalam kehidupan mereka.
Jika pembaca bisa mengenali emosi karakter, dan merasakannya, dia akan bisa bersimpati kepada karakter anda. Itu akan membuat pembaca ingin tahu apa lagi yang akan terjadi pada karakter anda. Dia akan melihat caranya, membandingkan dengan dirinya sendiri, atau mungkin belajar sesuatu yang tidak dia dapatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dan kedekatan emosi antara karakter dan pembaca inilah yang perlu anda bangun sejak paragraf pertama.
*
Dalam kalimat yang simpel, prinsip penokohan adalah begini: “Agar cerita anda menjadi cerita yang baik, setiap karakter harus bertindak seolah-olah mereka manusia sesungguhnya.” Dengan demikian tindakan-tindakan setiap karakter harus selalu kongruen dan konsisten di sepanjang cerita. Jika seseorang adalah psikopat atau sosiopat, dan di tengah jalan tiba-tiba anda membuatnya menunjukkan kelembutan pada orang lain dengan alasan-alasan altruistik, itu membuat pembaca anda enggan melanjutkan. Itu tindakan yang tidak konsisten. Maksud saya, perempuan muda yang tidak sanggup membunuh lalat sepanjang hidupnya tidaklah mungkin melakukan aksi-aksi pembunuhan model Rambo—sekalipun ia diprovokasi sedemikian rupa.
Jadi, karakter-karakter harus konsisten dalam tindakan-tindakan mereka.
Konsistensi kira-kira seperti ini: Jika saya merancang situasi tertentu bagi anda dan menanyakan bagaimana anda akan bereaksi dalam situasi itu, anda pasti bisa menceritakannya dengan lancar. Anda tahu diri anda sendiri, anda tahu kekuatan dan kelemahan anda sendiri. Jika situasi itu betul-betul terjadi, anda pasti bereaksi sebagaimana yang anda katakan tadi.
Demikian pula dengan karakter anda. Mereka harus bertindak secara konsisten dalam menghadapi setiap situasi. Kita sering mendengar orang mengatakan “sampai mati pun dia tidak akan berubah,” sebab perubahan memang sulit terjadi pada rata-rata orang.
Dia bisa membuat keputusan yang di luar dugaan, yang keluar dari wataknya selama ini, tetapi dia harus berada dalam situasi tertentu yang memaksanya melakukan tindakan radikal. Dia harus mengalami segala macam siksaan, mungkin, atau memikul berbagai penderitaan, untuk mendapatkan wawasan baru yang mengubah cara berpikirnya—mengubah caranya memandang kehidupan, dan mengubah perilakunya.
Cerita yang baik biasanya menyampaikan bagaimana karakter pada akhirnya berubah. Dia menjadi orang yang berbeda di akhir cerita: bisa menjadi lebih baik, bisa menjadi lebih buruk. Don Vito Corleone berubah dari kanak-kanak yang tidak berdaya menjadi kepala keluarga mafia besar. Anak lelakinya yang paling muda, Michael Corleone, berubah seperti itu juga. Joker sama pula.
Karakter belajar sesuatu dari segala yang dialaminya untuk menjadi manusia baru. Itu sebabnya kita membaca cerita, sebab cerita jauh lebih menarik dibandingkan kehidupan sehari-hari yang terasa datar-datar saja.
Memungut dari sekitar
Anda bisa menciptakan karakter dengan cara memungut dari apa-apa yang sudah tersedia. Saya melakukan hal ini untuk beberapa karakter cerita saya. Saya punya teman yang merepotkan ketika sedang jatuh cinta. Dia suka meminjam apa saja pada perempuan yang dia taksir, semata-mata agar selalu punya alasan untuk bertandang ke kamar kos perempuan itu dan ngobrol beberapa waktu saat mengembalikan barang pinjamannya, dan kemudian meminjam lagi.
Ingatan terhadap teman saya itu muncul ketika saya sedang menulis cerita dengan tokoh utama seorang pemuda yang kikuk ketika jatuh cinta, dan ia melancarkan strategi-strategi yang merepotkan pihak perempuan. Eureka! Saya menemukan model bagi karakter cerita rekaan saya, ialah teman saya sendiri. Saya curi tabiat teman saya itu.
Tetapi saya tidak ingin menceritakan teman saya. Itu bisa menyinggung perasaannya dan saya tidak menulis cerita untuk membuat orang lain tersinggung. Karena itu saya menggabungkannya dengan sifat-sifat lain dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak dimiliki oleh teman saya itu, tetapi mungkin dimiliki oleh teman saya yang lan. Dengan begitu tokoh rekaan itu benar-benar menjadi orang baru. Ia gabungan dari sifat beberapa orang yang saya kenal.
Proses itu mudah sekali karena saya tidak “mengarang”, saya mencuri bagian-bagian yang saya kenali pada orang-orang yang saya kenali betul. Strategi ini membuat saya tahu persis apa yang akan dilakukan oleh tokoh rekaan saya jika ia menghadapi situasi tertentu. Misalnya, ketika ia jatuh cinta.
Saya hanya mengingat-ingat apa-apa yang dilakukan oleh teman saya yang merepotkan itu, dan hal ini membuat saya bisa menulis lebih lancar karena saya tahu persis apa yang ia lakukan. Teman saya bisa membaca cerita tanpa tahu bahwa sebagian dari sifat tokoh rekaan itu saya pungut darinya. Mungkin ia hanya akan teringat tingkahnya sendiri bertahun-tahun lalu, dan itu justru akan membuatnya makin tertarik membaca: ia membaca tentang seseorang yang dalam satu hal memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bertahun-tahun kemudian saya menjadi tahu bahwa ini cara yang lazim bagi para pengarang. Gabriel Garcia Marquez memungut banyak dari orng-orang di sekelilingnya—ayahnya, ibunya, kakeknya, neneknya, tetangganya, dan orang-orang yang ia kenali sehari-hari maupun orang yang ia baca riwayatnya dari buku atau cerita lain--untuk dia olah menjadi karakter bagi cerita-ceritanya sendiri.
Maka, anda boleh juga mencuri sesuatu dari orang-orang di sekeliling anda. Gabungkan dengan watak-watak lain sehingga ia menjadi manusia baru. Setelah itu anda memberinya baju baru, tatarias baru, profesi baru, setting baru, permasalahan baru. Ia menjadi sosok baru, tetapi anda tetap mengenali cara berpikir, watak, dan responsnya terhadap berbagai situasi.
Baca Juga : Melatih Kebiasaan Membaca untuk Menjadi Penulis Cerpen Terkenal
Mencuri tabiat sendiri
Jika anda bisa mencuri salah satu tabiat teman anda, tentunya sangat mudah bagi anda mencuri sebagian dari diri sendiri. Anda sangat mengenal diri sendiri. Dan anda tahu betul bagaimana harus bereaksi pada setiap situasi yang anda hadapi.
Saya tahu ada banyak penulis yang menyangkal bahwa novelnya otobiografis, tetapi percayalah ada kebohongan di dalam penyangkalan itu. Setiap penulis, disadari atau tidak, menulis bagian dari dirinya sendiri ke dalam cerita rekaannya. Ia mungkin menjadi tokoh utama, atau ia mungkin menjadi tokoh kecil di dalam cerita. Tetapi ia menjadi bagian dari cerita itu.
Maka jika anda mendapati bahwa salah satu karakter di dalam cerita itu mirip anda sendiri, teruskan saja. Anda tidak perlu menghindarinya. Jadilah karakter itu. Dengan demikian, jika anda ingin tahu bagaimana karakter itu akan bereaksi dalam situasi tertentu, anda sekadar melihat diri anda sendiri jika berada dalam posisi itu. Proses ini tak beda dengan anda sedang berdiri di depan cermin dan menatap diri sendiri.
Strategi memanfaatkan apa yang sudah tersedia ini akan memudahkan anda menciptakan karakter. Keutungan tambahannya, anda mengenali cukup baik karakter anda, dan bisa menceritakannya secara meyakinkan sebab anda mengenalinya. Bukankah penokohan yang berhasil adalah anda mengenali betul karakter-karakter itu?
Memanfaatkan sumber lain untuk penciptaan karakter
Strategi lain, jika anda sudah kehabisan teman, carilah orang-orang lain yang juga sangat anda kenali. Mereka bisa tokoh dari buku-buku atau film. Misalnya, anda bisa menempatkan karakter Hamlet sebagai pegawai rendahan di sebuah kantor pajak. Untuk posisi yang sama, bagaimana jika karakter itu bukan Hamlet melainkan Sherlock Holmes, atau Ali Topan, atau Si Doel, atau Malin Kundang? Siapa yang akan didurhakai oleh Malin Kundang jika ia menjadi pegawai pajak? Atau anda akan menempatkan seorang pemikir seperti Albert Camus sebagai sopir taksi? Bagaimana tokoh pemikir anda ini menghayati kehidupannya sebagai sopir taksi dan apa potensi konflik yang ia hadapi?
Tujuan dari strategi ini adalah memberi anda gagasan yang lebih simpel untuk menangani karakter secara konsisten. Setiap orang akan melakukan tindakan dan mengambil keputusan secara konsisten. Maka, ketika anda memutuskan bahwa sopir taksi anda adalah karakter serupa Albert Camus, anda tidak akan keliru menanganinya. Dia akan selalu begitu, kecuali nyawanya terancam, atau ada risiko besar jika ia tidak mengubah perilakunya.
Sebenarnya ini cara yang sudah berulang-ulang dipraktekkan orang—entah disadari atau tidak. Sekarang, saya ingin anda mempertimbangkan hal berikut. Ada berapa sifat dasar manusia yang anda kenali? Seratus sifat? Atau dua ratus sifat? Atau seribu sifat?
Tidak akan sebanyak itu.
Sifat dasar manusia, menurut psikologi, paling hanya beberapa. Dan berapa miliar jumlah manusia di muka bumi?
Maka tidak mustahil bahwa salah satu penduduk Jakarta memiliki satu atau dua kesamaan sifat, kecakapan, dan kebiasaan dengan seorang penduduk Liverpool. Kendati demikian, masing-masing orang menjadi unik karena latar belakang sosial, budaya, dan lingkungan pergaulan. Tidak mustahil juga bahwa di muka bumi ini ada orang yang memiliki sifat gabungan antara sebagian sifat Hamlet, sebagian sifat Gandhi, dan sebagian sifat Dr. Jekyll. Dan ia mungkin tinggal di pedalaman Kalimantan.
Jadi, anda ciptakan saja karakter anda dengan cara merakit sejumlah sifat yang anda kenali dari berbagai sumber.
Nama julukan bagi karakter anda
Mari kita bicarakan nama julukan tokoh anda. Oke, ini urusan pribadi antara anda dan tokoh anda. Anda bisa memberinya nama julukan sejak awal, atau nanti. Terserah anda. Tapi gagasannya begini. Anda mungkin memiliki teman-teman yang dipanggil dengan julukan tertentu. Nama julukan itu bisa didasarkan pada tabiat atau penampilan atau apa pun—bisa juga mula-mula ia adalah ejekan. Kadang ada orang yang berupaya keras untuk bisa terbebas dari nama julukan itu, tetapi nama julukan itu begitu lekat kepada yang empunya, sehingga meskipun ia berpindah ke tempat baru, bergaul dengan orang-orang baru, nama julukan itu tetap muncul lagi.
Nama julukan bisa menceritakan banyak hal tentang seseorang. Ia bisa menyampaikan masa lalu orang itu, kepribadiannya, kesalahannya, ambisinya, dan sebagainya. Nama julukan si Bakhil, misalnya, sudah akan membuat anda sangat paham kira-kira seperti apa tabiat orang itu. Begitupun dengan tokoh cerita anak-anak yang dipanggil si Badung. Nama ini sudah menyampaikan secara implisit seperti apa kira-kira anak yang dipanggil dengan sebutan itu.
Untuk cerita anda, silakan anda pikirkan nama julukan yang bisa menjelaskan kepribadian tokoh anda. Mungkin anda menjulukinya si Belatung, si Codet, si Marmut, si Granat, dan sebagainya. Ingat film Scarface? Judul film tersebut adalah nama julukan bagi mafia Chicago Al Capone—dalam bahasa Indonesia, ia sama dengan si Codet.
Arswendo Atmowiloto memanfaatkan betul penggunaan nama julukan ini untuk karakter-karakter rekaannya dalam serial remaja Kiki dan Komplotannya di majalah Hai waktu itu. Dengan enak ia memberi nama tokoh-tokohnya Pak Filsuf, Empalwati, Si Berantakan, dan sebagainya. Dwianto Setiawan dengan serial Sersan Grung Grung-nya di majalah Bobo. Saya lupa siapa nama sebenarnya Pak Sersan itu, tetapi ia dipanggil Sersan Grung Grung karena suara batuknya.
Silakan beri nama julukan untuk tokoh anda. Nama julukan bisa memberi anda bayangan yang lebih komplet tentang latar belakangnya. Lionel Messi diberi julukan si Kutu. Mike Tyson diberi julukan Leher Beton. Chairil Anwar dijuluki Binatang Jalang, merujuk salah satu puisinya, dan tentu saja kehidupannya sendiri yang liar. Kenapa semua julukan itu pas? Karena sesungguhnya otak kita selalu berpikir asosiatif. Dan julukan adalah metafora yang meluaskan imajinasi orang.
Tak ada batasnya nama julukan bagi tokoh anda. Ia bisa kata benda, bisa juga kata sifat. Ada teman saya mendapat julukan Becak, dan sampai sekarang saya tidak tahu kenapa ia dipanggil Becak. Tetapi pikiran saya mencari asosiasi sendiri antara dia dan becak. Dan, jika anda mau, anda bisa membuat gambaran sendiri seperti apa orangnya. Jelas tidak mungkin ia berpenampilan Tom Cruise atau Robert Redford atau Keanu Reeves.
Tetapi hati-hati untuk memberikan nama julukan. Jika kita terlalu getol membuat nama julukan dan menjejali cerita dengan banyak nama julukan, cerita kita bisa terasa seperti cerita remaja. Kegemaran memberikan nama julukan adalah fase ketika kita anak-anak dan remaja. Dalam cerita saya pikir itu berlaku juga. Jika anda mengarang cerita anak-anak dan remaja, nama julukan akan menyenangkan pembaca. Jika anda mengarang cerita untuk pembaca dewasa, satu dua julukan akan menjadi bagian dari keunikan karakter-karakter dalam cerita anda.
*
Mulai sekarang anda perlu lebih jeli mengamati sekeliling dan rajin membongkar-bongkar gudang ingatan tentang orang-orang dan tokoh-tokoh yang anda kenali. Mereka bisa menjadi bahan dasar yang sangat sangat berguna untuk anda pungut bagian demi bagian dan anda rakit menjadi karakter baru untuk cerita anda.
Saya berharap anda tetap menjalankan tindakan-tindakan kecil yang sudah kita bicarakan di materi-materi awal. Itu cara yang lebih mudah untuk memiliki kebiasaan seorang penulis. Dan anda sanggup mengerjakannya karena hanya tindakan-tindakan kecil, tidak menyita waktu, tidak akan mengganggu kebiasaan menulis anda selama ini.
Related Posts
- Menciptakan Konflik dalam Adegan Cerpen
- Bagaimana Cara Menggerakkan Karakter Pasif?
- Melatih Kebiasaan Membaca untuk Menjadi Penulis Cerpen Terkenal
- Pentingnya SEO dalam Penulisan Arikel Berita Agar Nangkring di Halaman Pertama Google
- Menciptakan Keinginan pada Karakter Utama
- Menulis Cerpen dengan Pertanyaan 5W1H
0 Comments