Cerpen Putu Wijaya: Gagasan

 

cerpen-gagasan

POHON jambu bol yang ditanam Gun itu berusia 100 tahun. Pada ulang tahunnya, sahabat-sahabatnya datang berkunjung untuk menyatakan rasa syukur. Yang mengherankan Gun juga hadir. Pohon jambu itu menegur.

 

"Lho, empat puluh tahun lalu, pada ulang tahunmu yang ke-60, kamu bilang kamu tak akan bisa hadir hari ini, ternyata kamu di sini sekarang."

 

Gun, waktu itu sudah memutih rambut dan jenggotnya, mengangguk lalu menjawab. Sebagaimana biasanya dingin, gagap dan muram.

 

"Aku juga heran. Ternyata aku sudah di sini. Tapi bukan untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Sebab menjadi tua bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan, karena kalau orang duduk saja menunggu dia juga akan menjadi tua dengan sendirinya."

 

Pohon jambu itu agak tersinggung.

 

"Siapa yang sudah menunggu? Aku tidak pernah duduk. Aku selalu berdiri, tumbuh dan melawan musim kemarau yang panjang. Melawan badai dan petir yang kurang ajar mau melalap apa saja, karena mereka tak pernah mengenal pengertian sahabat atau solidaritas. Mereka tak mendirikan partai atau bikin ideologi di mana aku bisa berlindung."

 

"Pernah ada yang memasang penangkal petir di tubuhku, tapi dia mati waktu memasangnya. Aku tidak mudah mencapai usia satu abad yang relatif singkat buat sebuah pohon. Aku juga masih harus melawan orang-orang yang mau menebang ketika usiaku masih sangat kecil, karena mereka memerlukan tanah tempatku

 

berpijak ini untuk dijadikan pasar swalayan. Untung ada hantu yang waktu itu indekos di sini, dia marah lalu mencekik bangsat itu. Sekarang orang itu sudah ikut jadi hantu. Untuk beberapa lama aku ditakuti karena dianggap angker."

 

"Sempat aku jadi selebriti dan dimuat di berbagai koran ditayangkan di setiap layar televisi karena aku dianggap punya kekuatan gaib. Media massa dan para intelektual itu memang tidak punya kerjaan, mereka tak pernah mencangkul di sawah, mereka menghabiskan waktunya untuk menganalisis pohon."

 

"Sebenarnya mereka memanfaatkanku. Aku yang capek mengadakan perlawanan, mereka yang menikmati hasilnya. Tapi buatku aku enak saja. Toh aku jadi primadona. Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang ajar dan meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk menjual alat untuk memperbesar kemaluan."

 

''Masak di kepala selebriti ada papan reklame untuk memperbesar kemaluan. Aku menjadi bahan tertawa dan ejekan meskipun memang terkenal. Kamu boleh tidak percaya, tapi sampai sekarang papan itu masih melekat di kepalaku, tertutup oleh daun- daun, karena rasa malu itu sudah menyatu dengan badanku."

 

"Nah, kamu mengerti sekarang, aku sudah bertahan hidup sambil terus menghirup rasa malu itu. Apa kamu bisa membayangkan seratus tahun dengan rasa malu setiap hari. Dan kau seenaknya mengatakan bahwa usia tua akan datang juga meskipun berpangku tangan. Siapa yang sudah berpangku tangan? Kamu? Aku menderita luka di dalam batin selama seratus tahun, hanya untuk sebuah perayaan semacam ini, dan kamu tiba-tiba menyeruak dan kurang ajar mendemo aku, menuding bahwa aku sudah tua sambil duduk-duduk. Kurang ajar kamu Gunawan!"

 

Gunawan mengangguk.

 

"Terima kasih. Aku memang kurang ajar. Meskipun karena terpaksa."

 

Pohon itu tercengang.

 

"Kelihatannya kamu tidak mengerti apa yang aku bilang!" "Buat apa aku mengerti," jawab Gunawan.

"Kalau begitu buat apa kamu datang ke mari?"

 

Gunawan melihat ke arah pohon yang rindang dan berbuah lebat itu.

 

"Itulah yang ingin aku ketahui, kenapa aku datang sekarang. Bagaimana kamu bisa hidup seratus tahun dengan rasa malu itu."

 

"Kau bertanya?"

 

"Aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada diriku sendiri."

 

"Aku bisa membantu menjawab, supaya kamu tidak usah pulang dengan terheran-heran."

 

"Tapi aku tidak perlu jawabanmu. Aku perlu jawabanku sendiri." Pohon jambu bol itu penasaran.

"Sombong betul kamu! Baik. Kalau begitu sekarang aku yang tanya. Apa jawabanmu?"

Gunawan diam.

 

"Kenapa kamu diam. Atau kamu belum ketemu jawabanmu?"

 

"Tadi belum. Sekarang setelah kamu menuduhku tidak tahu apa jawabannya, aku sudah ketemu. Mungkin sudah ketemu."

 

"Apa?"

 
Baca Juga : Cerpen A.A. Navis: Anak Kebanggaan

Gunawan melihat kepada pohon itu. Pohon yang 100 tahun lalu dimasukkannya ke dalam tanah dengan harapan akan berusia berabad-abad, sekarang baru satu abad kelihatannya sudah payah.

 

"Aku akan menjawab, tapi kamu berani bayar berapa?"

 

Pohon jambu bol itu terkejut.

"Berengsek, kalau kamu mau jualan bukan di sini tempatnya. Pergi ke kota, daerah Glodok atau ke Gedung MPR!"

 

Gunawan menjawab tenang. "Aku baru saja dari sana."

 

"Kalau begitu ngapain kamu datang ke mari? Apa kamu tidak laku di situ?"

 

"Ya."

 

tulisan-putu-wijaya


Pohon jambu bol itu tiba-tiba tertawa. Buahnya yang lebat berjatuhan ke tanah. Para tamu yang menjejali halaman, kontan berdiri dan berebutan mengambil jatuhan jambu. Gunawan iuga ikut mengambil. Sebenarnya bukan karena ia takut tidak kebagian, tapi karena jambu itu sudah menghantam kepalanya dan mengotori jenggotnya. Ia mengendus jambu itu, lalu membelahnya.

Nampak seekor ulat menggeliat-geliat di dalam jambu itu. Gunawan mengacungkan jambu itu ke arah pohon.

"Setiap buah yang kamu hasilkan menjadi jambu yang dibawa olehpertapa yang sudah dihina oleh Parikesit yang menyamar masuk istana sebagai pendeta. Di dalam setiap buah yang kamu produksi ini ada naga Taksaka yang akan membunuh generasi penerus Pandawa."

Pohon jambu bol itu berhenti tertawa.

 

"Aku tidak mengerti mitologi India. Aku tidak membaca Mahabharata."

 

"Itu salah kamu. Kamu pikir usia panjang saja cukup?"

 

"Ya dong. Buat sebuah pohon, usia panjang sudah cukup. Dengan

 

usia panjang, tubuhku akan semakin kuat. Akar-akarku akan semakin menancap. Cabang-cabang dan daunku akan semakin lebat. Apa yang lebih baik dari usia panjang, pengalaman banyak. Dengan usia panjang aku melihat, mendengar dan mengalami lebih banyak. Aku bukan manusia, aku tidak harus berkarya seperti kamu. Satu-satunya tugasku adalah bikin anak, menyebarkan keturunan dan mempertahankan kekuasaan. Dan itu sudah kulakukan dengan catatan hebat sebagai penghancur konsep Keluarga Berencana yang sudah jadi idiologi dan status sosial itu!"

 

Gunawan nampak bersiap-siap hendak pergi. "He mau ke mana kamu?"

"Aku mau pulang, sebab ternpatku bukan di sini. Aku punya anak dan istri. Aku juga punya cita-cita.

Lebih daripada itu, aku sudah mati. Manusia tidak ada gunanya hidup sampai seratus tahun. Pablo Picasso mati dalam usia 90 tahun."

 

"Jadi kamu sudah mati?"

 

"Gagasan-gagasanku tidak pemah mati." "Maksudmu aku?"

Gunawan memandang pohon itu. "Kau bukan gagasan."

"Sialan. Kamu pikir aku ini apa?"

 

"Kamu pohon. Pohon jambu bol yang berusia 100 tahun. Mungkin akan bisa sampai 200 tahun, kalau kamu hati-hati dan bemasib baik atau setidak-tidaknya dilupakan takdir. Tapi hampir pasti akan ada saja yang akan mengakhiri hidup kamu. Sebab kamu sudah menjadi terlalu besar. Kebesaran sulit dihindarkan dari banyak dosa."

 

"Tapi aku pohon yang sudah ditanam oleh tangan kamu sendiri, Gun!"

 

"Persis. Jadi jelas kamu hanya pohon, bukan gagasan. Mungkin sebentar lagi semua tamu-tamu yang datang ini akan mati karena dipatuk oleh naga Taksaka!"

 

"Kamu bohong!"

 

"Aku tidak bohong, tapi mungkin aku salah." Gunawan kemudian melangkah pergi.

"He penyair, tunggu!" Gunawan menoleh.

"Aku bukan penyair, sudah lama aku tidak menulis sajak."

 

"Oke siapa pun kamu, budayawan, politikus, pemikir, reformis, pejuang hak asasi manusia, pelopor demokrasi, CIA, nabi atau manusia hipokrit, kamu tidak berhak pergi begitu saja setelah bikin Catatan Pinggir!"

 

"Kamu harus ingat, aku telah mati. Tidak ada manusia yang bisa hidup produktif lewat usia 90. Aku bukan pohon seperti kamu!"

 

"Itu dia. Karena kamu bukan pohon, kamu bisa hidup meskipun sudah mati. Sekarang aku tahu, itu sebabnya kamu bisa datang ke mari. Kamu ternyata bukan manusia!"

Gunawan tak menjawab. Seperti Johny Goedel dia mengulang pernyataan pohon itu. "Jadi aku bukan manusia?"

 

"Bukan." "Lalu apa?" "Apa?"

"Sebuah gagasan."

 

Sumber: Suara Merdeka, Edisi 10/26/2003

Related Posts

Post a Comment

0 Comments