Cara Menyusun Plot Cerpen

menyusun-plot-cerpen


Cerpen karena hanya cerita pendek, sebetulnya tidak membutuhkan plot yang ekstensif. Novel memerlukan plot yang ekstensif, dan punya keleluasaan untuk menyisipkan subplot, untuk mendapatkan jalan cerita yang lebih kompleks. Berikut dijelaskan secara detail bagaimana cara menyusun plot cerpen yang baik oleh AS. Laksana.

 

Selain tidak memerlukan plot ekstensif, cerpen juga tidak memerlukan banyak adegan. Jika kita pernah mendengar bahwa cerita adalah rangkaian adegan demi adegan, yang dijalin dengan mempertimbangkan hubungan sebab-akibat, pernyataan itu lebih tepat untuk novel, yang memang tersusun atas banyak adegan. Cerpen mungkin hanya akan mengandung 1-3 adegan. Format pendeknya tidak memungkinkan kita menaruh banyak adegan di dalam cerpen.

 

Plot dengan banyak adegan, jika kita gunakan untuk cerpen, berisiko menghasilkan cerita yang akan terasa seperti sinopsis, sebab kita tidak punya kesempatan untuk menggarap adegan-adegan itu secara mendalam.

 

Cerpen lebih memerlukan pengolahan intensif terhadap satu peristiwa atau satu momen dalam lintasan hidup seseorang (karakter)--ialah momen kunci, atau satu momen yang akan mempengaruhi jalan hidup selanjutnya orang itu.

 

*

 

Cerpen Hemingway Hills Like White Elephants hanya berisi satu adegan tentang dua orang yang berada di tempat minum dekat stasiun. Mereka sepasang kekasih, sedang menunggu kereta api ke Madrid, dan dari dialog mereka kita tahu bahwa di antara mereka sedang berlangsung "perang" hebat di bawah permukaan (subteks). Ada upaya penaklukan oleh si lelaki; ada upaya mempertahankan diri oleh si perempuan. Ada bujukan yang terus dilancarkan oleh satu pihak dan ada perasaan terdesak di pihak lain dalam upaya menangkis bujukan. Ada pihak yang lebih berkuasa dan memandang enteng masalah, ada pihak yang lemah dan putus asa dalam mempertahankan pendirian.

 

Semua itu berlangsung secara halus dalam percakapan yang seolah ke sana kemari di antara mereka.

 

Mereka sedang membicarakan janin di rahim si perempuan: si lelaki menginginkan pengguguran, si perempuan menginginkan kehadiran bayi. Namun mereka tidak pernah secara langsung menyebut-nyebut janin, rahim, dan pengguguran. Semua itu hanya hadir secara implisit di dalam percakapan mereka.

 

Kedatangan kereta api jurusan Madrid seolah menjadi batas waktu pertempuran mereka. Jika kereta itu sudah tiba di stasiun, pertempuran di tempat minum itu harus diakhiri. Ketika mereka berangkat ke Madrid, kita tahu siapa yang memenangi pertempuran itu.

 

Hemingway ahli dalam menciptakan dialog ber-subteks. Dengan subteks itu dia menyampaikan informasi A, tetapi sebetulnya ada informasi B yang membayangi di bawah permukaan.

 

*

 

Situasi serupa, dialog dua orang yang terasa ke sana kemari, terjadi antara Marno dan Jane dalam cerita pendek Umar Kayam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Seperti cerpen Hemingway, cerpen itu juga hanya berisi satu adegan: Marno mengunjungi apartemen kekasih Amerikanya, mereka bercakap-cakap, dan percakapan mereka dipenuhi subteks.

 

Jane pernah punya suami dan dalam percakapan mereka malam itu dia teringat beberapa hal tentang bekas suaminya. Marno punya istri di negeri asalnya, Indonesia, dan lampu-lampu kota di bawah sana mengingatkan dia pada taburan kunang-kunang di sawah embahnya di desa. Selanjutnya, dia merasa seolah-olah istrinya ada di dekatnya. Cerita berakhir dengan Marno, yang mendadak dipenuhi dengan sentimentalitas terhadap kampung halaman, memutuskan tidak jadi menginap di apartemen Jane.

 

Subteks pada dua cerpen di atas menjadikan keduanya terasa nyata. Seperti itulah kira-kira kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Dalam kehidupan sehari-hari, orang bisa mengangguk terhadap apa pun yang kita sampaikan kepadanya, tetapi sebetulnya dia tidak setuju dalam banyak hal.

 

*

 

"Bagaimana menurutmu tulisan saya?"

 

"Mantap, Gan. Keren abis!"

 

Padahal di dalam hati dia bilang, "Tulisanmu jelek sekali, Su!"

 

Satu orang yang lain membuat komentar “ditunggu lanjutannya!” meskipun dia tidak benar-benar menunggu.

 

Subteks membuat kehidupan ini tidak seperti apa yang tampak di permukaan. Subteks dalam cerita juga berfungsi seperti itu: ia membuat situasi tidak sebagaimana yang tertulis. Ada sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat. Itu pernyataan klise, tetapi saya perlu menyampaikannya, sebab itu cara paling mudah menjelaskan tentang subteks.

 

*

 

Subteks banyak kita jumpai, dan sering terjadi, dalam kehidupan sehari-hari. Itu karena kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran orang lain.

 

Di masa kanak-kanak, saya pernah ikut teman-teman mandi di sungai--sesuatu yang dilarang oleh ayah saya--karena hari itu saya pikir ayah pergi ke luar kota. Ketika saya pulang dari sungai sore hari, ayah ternyata ada di rumah. Dia menanyakan dari mana.

 

"Belajar bersama di rumah teman," kata saya.

 

Dia mengacak-acak rambut saya dengan tangannya yang besar dan kokoh.

 

"Cepat mandi."

 

Saya lega dia tidak mengusut lebih jauh. Malam harinya saya belajar sangat tekun, dengan perasaan tegang jangan-jangan ayah tahu saya tadi mandi di sungai, jangan-jangan dia nanti mengamuk karena saya berbohong.

 

Bertahun-tahun setelah itu, saya baru menyadari bahwa ayah pasti tahu saya berbohong. Dia bisa melihat dengan mudah–dari rambut saya, dari kulit saya yang busik, dari keseluruhan penampilan saya–bahwa saya baru pulang dari mandi di sungai.

 

Mungkin dia mengacak-acak rambut saya untuk menyampaikan, secara tidak langsung, bahwa dia tahu saya berbohong.

 

Malam itu, ketika saya sedang memperlihatkan kesungguhan belajar, ayah bercakap-cakap di ruang tamu dengan beberapa orang tua seumurannya dan sesekali saya mendengar dia menyebut anak-anak mandi di sungai. Saya merasa tegang dan tidak bisa belajar sama sekali.

 

Pengalaman masa kecil saya ini mudah-mudahan bisa memberi gambaran yang jelas tentang bagaimana subteks bekerja untuk meningkatkan ketegangan.

 

*

 Baca Juga : Menyajikan Kompleksitas Menulis Cerpen dengan Detail

The Tell-tale Heart, mungkin cerpen terbaik Edgar Alan Poe, adalah cerita menarik yang digarap dengan mengintensifkan dan meningkatkan ketegangan di dalam pikiran seorang pelaku kejahatan. Kurang lebih itu serupa dengan ketegangan yang saya alami di masa kecil itu: Saya juga pelaku “kejahatan” pada waktu itu.

 

Poe memperbesar masalahnya berlipat-lipat dengan cerita pembunuhan. Saya pernah menerjemahkan dan menerbitkan cerpen tersebut pada 2002 dan memberi judul dalam bahasa Indonesia Hati yang Meracau. Untuk materi ini saya menerjemahkan bebas dua paragraf pertama cerpen tersebut dan paragraf penutupnya:

 

Benar, aku sangat gelisah; aku gugup, sangat, sangat gugup, sampai sekarang aku seperti itu. Tetapi kenapa kalian menyebutku gila? Penyakit itu justru mempertajam indraku--tidak menghancurkannya--tidak menumpulkannya. Dari semuanya, indra pendengarankulah yang paling tajam. Aku bisa mendengar segala sesuatu di langit dan di bumi. Aku mendengar semua suara dari neraka. Jadi, bagaimana mungkin aku gila? Dengar dan lihat sendiri betapa sehatnya aku--betapa tenangnya aku menceritakan keseluruhan cerita ini kepada kalian.

 

Memang mustahil mengatakan bagaimana mula-mula ide itu memasuki otakku; namun begitu ia merasuk, ia menghantuiku siang-malam. Benci tidak. Sayang juga tidak. Aku mencintai orang tua itu. Dia tidak pernah menyalahiku. Dia tidak pernah menghinaku. Emasnya pun aku tak ingin. Kupikir matanya itulah. Satu matanya menyerupai mata burung nasar—​​mata biru pucat, dengan selaput tipis melapisinya. Setiap kali mata itu memandangku, darahku menjadi dingin, dan secara bertahap — sangat bertahap—aku memutuskan membunuh orang tua itu, demi membebaskan diri dari mata itu selamanya.

 

Karakter utama cerita itu menjalankan rencananya. Ia mendatangi kamar orang tua itu tiap malam dan membunuhnya pada malam kedelapan ketika mata yang dibencinya itu terbuka dan menyembunyikan mayatnya–setelah dipotong-potong–di bawah lantai papan kamar. Orang tua itu sempat menjerit saat ditikam dan tetangga yang mendengar jeritan itu melaporkan apa yang didengarnya itu ke polisi.

 

Tiga petugas polisi datang. Tokoh utama mempersilakan mereka memeriksa, membawanya ke dalam ruangan si tua, memperlihatkan harta orang tua itu aman di tempat penyimpanan. Ia mengatakan bahwa jeritan yang didengar oleh tetangga adalah jeritannya sendiri pada tengah malam karena mimpi buruk. Orang tua itu sedang tidak di rumah. Para petugas polisi tidak menemukan petunjuk apa pun.

 

Dalam kepercayaan diri yang meluap-luap, tokoh utama membawa kursi-kursi ke dalam ruangan, dan mempersilakan mereka beristirahat di kamar itu untuk melepas lelah. Ia sendiri keberanian berkobar menaruh kursinya di atas tempat ia menyembunyikan mayat.

 

Saat para petugas bercakap-cakap santai, ia tiba-tiba merasa mendengar denging pada telinganya. Makin lama suara itu makin jelas, makin jelas, sampai ia menyadari suara itu ternyata bukan di dalam telinganya, tetapi itu suara jantung yang memukul-mukul kuat dari bawah lantai papan.

 

Para polisi tetap mengobrol santai. Mereka tidak mendengar apa pun. Tokoh utama akhirnya tidak tahan; ia meracau ketika bunyi itu terdengar semakin keras dan ia yakin para polisi itu sebetulnya juga mendengar bunyi itu. Hanya mereka sedang mengolok-olok dia dengan berpura-pura tidak mendengar apa pun. Ketika “suara detak jantung” itu semakin keras, semakin keras, ia akhirnya meledak.

 

“Bajingan!” aku menjerit, “Jangan pura-pura lagi kalian. Aku mengaku! Kalian bongkar papan ini. Di sini, di sini–jantung keparatnya itulah yang berbunyi berisik.”

 

*

 

Saya memahami plot cerita pendek, terus terang, dalam cara intuitif saja. Saya membaca cerpen Anton Chekhov ketika kelas lima SD dan itu membuat saya jatuh cinta kepada cerpen dan setelah itu saya rajin membaca cerpen. Beberapa waktu setelah itu, di kepala saya sering muncul cerita–atau ide cerita–biasanya dalam bentuk satu adegan.

 

Ketika saya senang duduk-duduk di perempatan kampung, misalnya, tiba-tiba muncul gambar seorang bocah lelaki duduk seharian di perempatan, menghadap ke arah utara, menunggu ibunya pulang. Ibunya pergi meninggalkan rumah pada hari Jumat dan berjanji akan pulang pada hari Senin dan tidak pernah pulang pada hari apa pun.

 

Dari gambar semacam itu, saya menggali lebih dalam lagi: Kenapa si ibu pergi meninggalkan anak itu? Apakah ia disakiti oleh suaminya, ayah si bocah? Seperti apa suaminya? Bagaimana lelaki itu memperlakukan istrinya? Bagaimana perasaan anak itu terbangun tengah malam menyaksikan ibunya berkemas? Apa yang dibicarakan si anak dengan ibunya?

 

Tiba-tiba muncul di benak saya selarik dialog:

 

“Kalau kamu pergi, aku akan dimakan hantu.”

 

“Berdoalah sebelum tidur. Hantu takut pada anak yang berdoa.”

 

Saya tidak ingat persis seperti apa cerpen itu; saya tidak punya arsipnya dan ia dimuat sebelum ada internet. Jadi, saya tidak bisa menemukannya lagi. Tetapi kira-kira seperti itu.

 

*

 

Cerpen Menggambar Ayah muncul setelah saya membaca berita tentang Madonna mengumumkan menjadi ibu tunggal bagi anaknya. Di kepala saya muncul begitu saja pertanyaan: Bagaimana jika si anak menginginkan seorang ayah? Madonna tentu saja berhak memilih menjadi ibu tunggal, tetapi si anak berhak juga meminta ayah, sebab anak-anak lain pada umumnya memiliki ibu dan ayah.

 

Pertanyaan-pertanyaan itu menarik ingatan saya ke gambar arang di tembok gubernuran yang saya lihat bertahun-tahun lalu ketika saya SMA. Setiap kali dihapus, gambar itu akan muncul lagi beberapa hari kemudian. Saya ingin tahu siapa yang menggambar, dan pada suatu hari, ketika tembok gubernuran dibersihkan, saya berpikir orang itu pasti akan menggambar lagi. Saya memutuskan menunggui orang itu, tetapi sampai dinihari menunggui tembok gubernuran, orang itu tidak muncul.

 

Akhirnya saya membayangkan sendiri sosok itu, dan ternyata otak saya menghubungkannya ke pertanyaan-pertanyaan yang muncul setelah berita Madonna.

 

Kemudian saya membuat wawancara imajiner dengan “si penggambar”--anak kecil yang menginginkan ayah–untuk mengenali lebih rinci sosok yang kemudian menjadi tokoh utama cerpen tersebut.

 

*

 

Kebanyakan cerpen saya berawal dari gambar atau adegan yang muncul begitu saja di kepala. Dan, setelah gambar itu muncul, saya pasti melanjutkannya dengan pertanyaan-pertanyaan.

 

Saya pikir itu keuntungan kita membaca cerita-cerita bagus. Cerita bagus akan menciptakan gambar-gambar bagus di dalam kepala kita. Sebab begitulah yang terjadi ketika kita membaca. Kalimat-kalimat yang kita baca akan diproses oleh pikiran menjadi gambar atau adegan-adegan.

 

Ketika kita rajin membaca, pikiran kita menjadi mahir menciptakan gambar. Karena itu, seringkali ide untuk sebuah cerita lahir di tengah-tengah saya membaca cerita, terutama ketika saya sangat terpukau oleh cerita tersebut. Menurut saya itu proses alami saja.

 

Ketika saya mendengar lagu House for Sale–lagu ini populer di radio ketika saya kanak-kanak dan di telinga saya terdengar seperti Apuse–yang muncul di benak saya adalah gambar tentang pasangan yang menjual rumah mereka karena cinta di antara mereka sudah berakhir.

 

Berhari-hari saya mendengarkan lagu itu, sampai gambarnya menjadi jelas, dan lagi-lagi saya memperdalam masalahnya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan, dan kemudian muncul cerpen Dijual: Rumah Dua Lantai Beserta Seluruh Kenangan di Dalamnya.

 

*

 

Ketika saya kemudian belajar tentang plot, yang paling saya ingat adalah saran “Potong di tengah!” dan saya mengamalkannya secara harfiah. Cerpen-cerpen yang sudah selesai saya tulis segera saya potong di tengah-tengah dan bagian tengah itu saya naikkan sebagai pembuka cerita.

 

Karena sejak kecil akrab dengan kalimat pembuka “Pada suatu hari…”, kita menjadi terbiasa dengan cara bercerita linear–kronologis dari A-Z. Nasihat potong di tengah, yang saya patuhi secara harfiah, membuat saya belajar membuka cerita dari bagian tengah, dari konflik yang mulai menguat, atau dari situasi menegangkan, atau langsung masuk ke masalah.

 

Jadi, tidak ada masalah jika anda menulis dalam susunan kronologis; anda bisa memotongnya di tengah-tengah untuk mendapatkan pembukaan yang lebih mampu memikat pembaca.

 

Cara bertutur kronologis setidaknya memastikan bahwa struktur cerita kita sudah beres. Apa saja yang perlu ada, untuk menyusun bangunan cerita yang kokoh, sudah kita adakan.

 

Potong di tengah merupakan strategi untuk membuat plot.

 

Plot adalah penyajian cerita, cara kita menyusun urut-urutan kejadian di dalam cerita, dan itu tidak harus kronologis. Kita bisa memulai cerita dari tengah, atau dari kejadian paling dramatis, atau dari bagian akhir kemudian flashback dan kembali ke bagian akhir lagi.

 

*

 

cara-membuat-plot

Dalam menulis cerita pendek, kita memerlukan enam hal berikut untuk memastikan bahwa strukturnya beres:

 

1. Eksposisi

meliputi pemaparan latar belakang dan setting.

 

2.  Peristiwa pemicu (inciting incident)

yaitu peristiwa yang menyeret tokoh utama meninggalkan dunia normal untuk memasuki dunia istimewa yang berbeda dari dunia normal.

 

3. Komplikasi 

situasi berkembang menjadi lebih buruk.

 

4. Krisis

karakter utama harus mengambil keputusan atau langkah penting untuk mengatasi situasinya.

 

5. Klimaks

karakter menghadapi hambatan terbesarnya dalam sebuah pertarungan yang harus ia menangkan.)

 

6. Penyelesaian.

 

Tanpa saya menyebutkan enam hal di atas, saya yakin anda secara intuitif sudah tahu bahwa cerita pasti bermula dari masalah, lalu konflik makin meningkat, lalu tokoh utama berada dalam situasi krisis, ia berhadapan dalam pertarungan akhir di puncak klimaks, dan setelah klimaks satu-satunya jalan pastilah penyelesaian.

 

*

 

Saya mendorong anda melakukan tindakan kecil untuk memikirkan konflik setiap hari, sebab dengan cara itu anda mempunyai peluang, setiap hari, untuk menemukan peristiwa penting atau momen kunci. Dari momen kunci itu kita membangun adegan utama. Cerpen, karena keringkasannya, kebanyakan hanya akan menggali detail peristiwa di seputar momen kunci itu.

 

Sebetulnya dengan pertanyaan “what if”, sebagaimana dicontohkan dalam materi lalu, kita sudah akan bisa membangun plot. Dan saya akan meyakinkan anda bahwa membangun plot atau menyusun outline cerita dengan mengajukan pertanyaan adalah cara termudah untuk membuat kita menulis.

 

Di luar itu, dengan membuat pertanyaan-pertanyaan, anda akan selalu tahu apa yang harus anda tulis. Bukankah anda hanya perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Bukankah anda harus menulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?

 

Dan bukankah cerpen lahir dari rasa ingin tahu?

 

Apa jadinya jika sepasang kekasih duduk di tempat minum dan memesan bir untuk menunggu kereta api datang?

 

Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi. Salah satunya adalah cerita pendek berjudul Hills Like White Elephants. Tetapi dua orang lain, dengan topik percakapan lain, dengan latar belakang lain, akan melahirkan cerita lain.

 

Sama halnya dengan sepasang kekasih di sebuah apartemen. What if semacam itu melahirkan cerita Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Tetapi ia juga bisa melahirkan banyak cerita lain.

 

Apa yang akan terjadi jika seorang lelaki paruh baya masuk ke rumah sakit?

 

Apa yang akan terjadi jika seorang lelaki dewasa jatuh cinta kepada gadis kecil berumur dua belas? Anda bisa melahirkan novel berjudul Lolita. Ketertarikan Humbert Humbert terhadap gadis kecil, yang ia namai sendiri sebagai Lolita, adalah momen kunci yang membuat Nabokov menulis Lolita, novel masterpiece-nya. 

Related Posts

Post a Comment

0 Comments