Menyusun Metafora Cerpen yang Menarik

majas metafora cerpen

 

Menyusun metafora cerpen merupakan hal yang paling mendasar bagi cerpenis. A.S. Laksana membagikan materi dalam kelas penulisan cerpen tentang cara membuat metofora cerpen yang menarik. Cerpen merupakan karya satra fiksi yang memuat keindahan dalah penyusunan diksi.

Bagi masyarakat berbahasa Inggris, terutama peminat sastranya, William Shakespeare adalah nama yang akan selalu dibicarakan dengan rasa hormat–hingga sekarang. Dia mendayagunakan banyak sekali perangkat literer untuk menghasilkan ekspresi-ekspresi artistik yang optimal, termasuk penggunaan metafora cerpen di dalam karya-karyanya. 

Jika anda membaca karya Shakespeare, yang mana saja, anda akan menjumpai banyak mutiara di dalam larik-larik dialog naskah dramanya. Ia mencintai kalimat, ia mencintai bahasa, ia tidak mau sekadar menyatakan sesuatu dalam cara yang biasa-biasa saja. Itulah keajaiban metafora cerpen yang menarik bagi cerpenis

 Untuk itu metafora cerpen perlu dipahami dan dipelajari para cerpenis pemula agar bisa maksimal dan menarik dibaca. Berikut ada bahasan yang menarik tentang menyusun metafora cerpen yang menarik dari A.S Lasana.

Ketika Hamlet menyatakan cintanya kepada Ophelia, ia menyampaikannya melalui surat dalam kalimat seperti berikut:

 

“Ragukan bahwa bintang-bintang itu api.

Ragukan bahwa matahari bergerak,

Ragukan kebenaran sebagai dusta,

Tapi jangan pernah ragukan cintaku.”

 

Dan Shakespeare adalah pencipta karakter paling hebat dalam sejarah sastra. Hamlet, tokoh ciptaannya, dianggap sebagai karakter fiksional terbesar yang pernah diciptakan orang. Watak-watak yang saling bertentangan ada di dalam diri Hamlet, dan hanya karena kemahiran Shakespeare, Hamlet tetap menjadi karakter yang masuk akal. Ia murung dan juga ceria, ia bertekad membalas dendam tetapi juga ingin bunuh diri, ia emosional, menyebabkan kematian sejumlah orang, termasuk Ophelia yang ia cintai, tetapi juga seorang yang cerdas dan reflektif.

 

*

 

Salah satu perangkat utama Shakespeare untuk menciptakan ekspresi-ekspresi artistiknya adalah metafora. Ketika Romeo memandang ke arah jendela balkon dan di sana Juliet berdiri, ekspresi metaforis pemuda itu adalah: “Ada cahaya lembut menembus jendela. Itu pasti arah timur, dan Juliet adalah matahari.”

 

Sayang bahasa Inggris Shakespeare sulit dibaca bagi orang sekarang, bahkan oleh orang-orang Inggris sendiri. Kita harus cukup keras kepala dan tahan menderita untuk mengais-ngais pengetahuan berharga dari karya-karyanya.

 

Tetapi itu urusan lain lagi. Untuk sekarang, kita sepakati saja bahwa dia menggunakan metafora sebagai salah satu alat utama dalam mengupayakan ekspresi-ekspresi artistiknya.

 

*

 

Dalam pengalaman kita hari ini, karya sastra yang paling akrab dengan metafora adalah puisi. Hampir tidak ada puisi tanpa metafora.

 

Itu karena puisi selalu berupaya menyampaikan sesuatu dengan cara lain, secara elegan, dengan cara tidak langsung. Ketika ingin menyampaikan A, seorang penyair akan menyampaikannya dengan cara B. Kita tahu bahwa “A adalah B” atau “A=B” adalah rumus metafora.

 

Seorang penyair yang matang, yang ingin mempertahankan mutu ekspresi artistiknya, jarang menulis puisi dengan larik-larik yang segamblang pengumuman di kantor kecamatan atau semubazir orang membuat pengumuman pada sebuah karya fiksi: “Cerita ini hanyalah fiksi. Jika ada kesamaan….”

 

Tentu semua orang tahu bahwa sebuah novel adalah fiksi, dunia rekaan, dan kita tidak perlu menjelaskan kepada pembaca, ketika kita menulis fiksi, bahwa yang kita tulis itu “hanyalah fiksi”. Ia dengan sendirinya fiksi, tidak peduli nama tokohnya kebetulan sama dengan nama tetangga kita atau memang disengaja sama.

 

*
 Baca Juga : Cara Menyusun Plot Cerpen

Tidak mungkin seorang penyair yang matang menulis puisi seperti ini:

 

Suatu saat dalam hidup saya, saya harus memilih

Lalu saya membuat keputusan yang tidak lazim

Dan itulah yang membuat jalan hidup saya berbeda.

 

Larik-larik itu hanya pemberitahuan biasa saja. Jika Robert Frost menulis seperti itu, dia tidak akan pernah menjadi penyair yang baik dan karyanya mustahil dibaca orang. Alih-alih membuat pengumuman segamblang itu, penyair Amerika tersebut menulis, di dalam puisinya The Road not Taken, larik-larik metaforis:

 

Jalan bercabang dua di dalam hutan, dan aku–

Aku mengambil yang jarang dilalui,

Dan itu membuat segalanya berbeda.

 

Dalam puisi itu, kita bisa merasakan bahwa penyairnya memaknai hidup sebagai perjalanan, atau dalam rumusan metaforis “hidup adalah perjalanan”. Maka dia mengekspresikan situasi tertentu yang dihadapi oleh si “aku”, situasi ketika dia harus memilih, sesuai dengan konsepsinya tentang hidup sebagai perjalanan.

 

*

 

Hidup adalah perjalanan. Itu metafora yang lazim kita jumpai. Metafora-metafora turunannya kemudian akan menyesuaikan diri dengan konsep dasar itu.

 

Tentang kehidupan yang sulit, misalnya, orang bisa mengatakan bahwa hidup ini perjalanan dan kita kadang melaju lancara di jalanan mulus, kadang harus sempoyongan melewati jalanan terjal yang berat untuk dilalui. Atau, hidup ini sebuah perjalanan dan saya beberapa kali jatuh terantuk batu.

 

Ekspresi-ekspresi tersebut konsisten dengan konsep “hidup adalah perjalanan”.

 

Metafora lainnya, ketika kita harus memilih sesuatu, itu berarti kita tiba di persimpangan jalan.

 

*

 

Jika hidup adalah perjalanan, ke mana tujuan akhirnya?

 

Dalam ajaran agama-agama samawi (Islam, Kristen, Yahudi), tujuan akhir perjalanan hidup manusia adalah ke tempat Tuhan. Dan orang hanya bisa kembali ke tempat Tuhan melalui kematian. Karena itu, sejalan dengan konsep "hidup adalah perjalanan", kita bisa membuat metafora tentang kematian sebagai pintu gerbang yang harus dimasuki untuk tiba di tempat tujuan. Kita juga bisa membuat metafora kematian sebagai stasiun, atau pelabuhan, atau terminal–tempat-tempat yang kita datangi untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.

 

*

 

Orang Jawa dan Bali melihat hidup sebagai cakra manggilingan, roda yang berputar. Mungkin konsep itu ada juga pada masyarakat-masyarakat lain, tetapi saya mengenal metafora itu mula-mula dari nenek saya, orang Jawa. Dengan konsep itu, kita tahu apa artinya ketika mendapati ucapan: “Sekarang kita sedang di bawah, tetapi ini hanya sementara. Bagaimanapun roda berputar, pada saatnya kita akan berada di atas juga.”

 

Shakespeare, dalam dialog di naskah dramanya, menyebut hidup adalah panggung sandiwara, dan tiap-tiap orang adalah aktor yang memainkan perannya masing-masing.

 

Penulis dongeng H.C. Andersen menganggap hidup adalah dongeng, bahkan dongeng paling menakjubkan. “Life itself is the most wonderful fairy tale,” katanya.

 

Dia punya alasan kuat untuk kalimat tersebut. Kisah hidupnya sendiri persis dengan cerita Anak Itik Buruk Rupa: Ia terlunta-lunta di masa kanak-kanak karena dianggap sangat jelek oleh unggas-unggas lain dan kemudian tumbuh menjadi angsa paling tampan. Begitulah kehidupan Andersen.

 

Bagi orang-orang Denmark, dongeng itu adalah metafora bagi negeri mereka: negeri yang tidak berarti pada mulanya, kemudian tumbuh, dan akhirnya mampu menjadikan diri angsa putih yang sangat indah.

 

*

 

Metafora yang berkaitan dengan rentang waktu hidup adalah hari. Dalam metafora ini, kelahiran adalah fajar, kedewasaan adalah tengah hari, masa tua senja hari, momen berakhirnya kehidupan adalah terbenamnya matahari, kematian adalah malam hari.

 

Metafora lain tentang rentang waktu kehidupan adalah tahun. Ini ekspresi metaforis yang muncul di negeri empat musim. Dalam metafora ini, kelahiran adalah musim semi, kedewasaan musim panas, usia tua musim gugur, dan kematian adalah musim dingin.

 

Malam hari dan musim dingin sebagai metafora untuk kematian memberi kita gambaran bahwa kematian adalah suatu yang gelap dan dingin. Itu situasi yang menyiratkan ketidaknyamanan, berbeda dengan kematian sebagai kepulangan manusia ke tempat penciptanya.

 

Karena kematian adalah gelap dan dingin, maka kehidupan adalah nyala api, kehangatan, cahaya. Metafora ini setara dengan harapan yang lazim kita gambarkan sebagai nyala api atau cahaya di tengah kegelapan.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih memilih metafora kematian sebagai kepulangan, atau keberangkatan, untuk mengekspresikan perasaan dukacita atas kematian seseorang.

 

Ketika mengumumkan kabar kematian, orang memilih kalimat “Pulang ke rumah Bapa di surga…” atau “Telah meninggal dunia…”--istilah meninggal dunia terbentuk dari frase "pergi meninggalkan dunia". Ke mana? Ke tempat kehidupan yang kekal, di sisi Tuhan.

 

*

 

Manusia adalah tanaman atau pohon. Anda mungkin tidak menyadari metafora tersebut, tetapi itu juga sering kita jumpai. Dengan konsep manusia adalah tanaman, kita bisa membuat kalimat metaforis seperti di bawah ini:

 

Kami di tempat ini adalah daun-daun yang menguning, tiap saat ada yang rontok, tiap saat ada yang jatuh dan membusuk di tanah.

 

Kami tak pernah menjadi suami istri, tetapi aku selalu memilikinya dalam hati. Dia meninggal tahun lalu dan sejak itu, lihatlah, aku pohon yang meranggas, dengan batang yang melapuk dan akar yang goyah.

 

Ayahku tukang tambal ban, memiliki ayah, yaitu kakekku, tukang tambal ban, dan kakekku memiliki ayah, ialah kakek buyutku, tukang tambal ban juga. Dan aku merawat pohon keluarga kami secara sempurna; sejak tahun lalu aku menguasai perempatan ini sebagai tukang tambal ban. Mestinya anak lelakiku bisa menjadi tukang tambal ban juga, tetapi ia meninggal pada umur lima; sedih rasanya melihat daun kecil itu luruh oleh hama sebelum sempat mengembang sempurna. Masih ada tiga anak lagi yang tumbuh sehat, tetapi mereka semua perempuan dan perempuan di dalam pohon keluarga kami selalu menjadi tukang cuci.

 

menggunakan metafora cerpen


Turunan dari metafora itu bisa melahirkan kalimat semacam ini:

 

Kami memiliki pohon di pekarangan rumah dan dia adalah satu-satunya teman yang sabar mendengar ceritaku tentang apa saja.

 

Berkebalikan dari manusia adalah pohon, kalimat di atas menggambarkan tindakan yang menganggap pohon adalah manusia.

 

Kalimat berikut ini bukan metafora, tetapi perumpamaan. Ada kata “seperti” yang digunakan untuk membandingkan manusia dengan pohon.

 

Di pekarangan rumah kami ada pohon besar, tua dan keriput, seperti penyihir baik hati yang melindungi keluarga kami siang dan malam.

 

*

 

Manusia dan emosi-emosinya juga melahirkan banyak metafora. Berkaitan dengan keadaan emosi manusia itu, kita pada umumnya menganggap emosi-emosi negatif yang sangat kuat, seperti cemburu dan benci, sebagai racun, penyakit, atau monster. Kita juga menganggap benci dan cemburu sebagai hama yang menggerogoti kita. Kemarahan kita sejajarkan dengan ledakan. Kesedihan dengan kedalaman; mungkin ini mengacu pada tindakan penarikan diri yang biasa terjadi pada orang-orang yang sedih. Dalam bahasa Inggris, kesedihan adalah warna biru.

 

Kebahagiaan selalu dangkal, kesedihan selalu dalam. Kebahagiaan tampak di permukaan seperti ombak dan buih-buih; kesedihan adalah palung samudra yang amat dalam.

 

Penulis Margaret Atwood menyamakan kesedihan dengan boneka tanpa mata: “Peluk kesedihanmu seperti kamu memeluk boneka tanpa mata yang menemanimu tidur.”

 

*

 

Dalam sifatnya, kita menyamakan emosi-emosi negatif dengan benda cair yang sangat panas, atau sebagai api yang membuat darah mendidih. Kecemburuan menggelegak di dalam dadanya. Darahnya mendidih oleh kecemburuan.

 

Kecemburuan, karena berkaitan dengan amarah, kita pandang juga secara metaforis sebagai ledakan gunung api. Ia menyemburkan lahar panas yang melalap apa saja yang dijumpainya.

 

*

 

Jadi, Joko, ketika kita memikirkan metafora tentang sesuatu, kita bisa memikirkan potensinya. Apa potensi terbaik cinta? Apa potensi terburuk benci? Apa potensi bahaya kecemburuan?

 

Berkenaan dengan potensi bahayanya, kita bisa membuat metafora tentang kecemburuan sebagai kanker, monster, setan, api, badai, dan sebagainya.

 

Berkenaan dengan potensi terbaik yang diwujudkannya, kita bisa membuat metafora tentang cinta sebagai mata air, danau, kesejukan, padang rumput, musik, dan sebagainya.

 

Berkenaan dengan potensi buruk yang dihadirkannya, kita bisa membuat metafora tentang cinta sebagai malapetaka, bencana, racun peremuk tulang, dan sebagainya.

 

Cinta adalah hal terburuk yang pernah dialaminya.

Cinta adalah perjudian dan kita akan selalu kalah.

Cinta adalah musim dingin yang menggigilkan.

Cinta adalah kegelapan total. (Variasi dari cinta itu buta.)

 

*

 

Manusia hidup di dalam waktu. Berkatian dengan efek yang dihasilkannya, manusia membuat metafora tentang waktu sebagai berikut:

 

Waktu adalah mesin penghancur.

Waktu adalah pengubah segalanya.

Waktu adalah obat. Ia membereskan semua luka.

Waktu adalah pengkhianat. Ia menguntit kita dan memukul jatuh kita saat kita tidak berdaya.

Waktu adalah mesin untuk membuat kita tua.

Waktu adalah makhluk pendendam. Jika kita menyia-nyiakannya, ia akan menyia-nyiakan kita berlipat-lipat kali.

Waktu tak mengenal ampun. Ia tidak pernah menunggu sampai kita siap.

Waktu adalah pencuri; ia mencuri kemudaan kita.

Waktu mengambil apa saja dari kita, termasuk kemampuan berpikir kita.

 

Di dalam konsep waktu sebagai pencuri, kita menjadi bisa memahami satu konsep lagi tentang kehidupan, ialah bahwa hidup adalah kepemilikan. Kita memiliki kemudaan, kita memiliki ketampanan, kecantikan, kesigapan, kelincahan, kecepatan, kecerdasan, kekuatan.

 

Waktu bekerja diam-diam dan, pada saat yang tepat, mengambil itu semua dari kita. Kita tidak menyadari waktu bekerja sampai kita tiba-tiba–ya, dalam urusan dengan waktu, apa saja selalu terasa tiba-tiba–kita menjadi lemah, pikun, keriput, dan tidak berdaya sama sekali.

 

Dan berkaitan dengan waktu pula, Shakespeare membuat perumpamaan: “Usia, seperti cinta, tak dapat disembunyikan.”

 

*

 

Itu sedikit tambahan tentang metafora. Saya merasa perlu menyampaikannya, setidaknya agar kita jadi punya gambaran tentang bagaimana metafora lahir, atau dibentuk, dengan merumuskan konsep tertentu tentang suatu subjek. Lalu, dengan berpegang pada konsep itu, kita bisa melahirkan metafora-metafora turunan, yang konsisten dengan konsep dasarnya.

 

Cara lain yang lazim untuk membuat metafora adalah menemukan sifat-sifat yang kurang lebih serupa pada dua hal yang berbeda.

 

Saya berharap materi ini bisa membantu anda lebih memahami metafora dan mudah-mudahan mempermudah anda berlatih metafora.

 

Metafora akan membuat kalimat anda lebih lekat dalam ingatan pembaca, dan quotable. Anda bisa menemukan banyak kutipan yang berasal dari naskah drama Shakespeare, sebab dia cakap bermetafora. Kita menemukan banyak juga kutipan yang berasal dari karya-karya Gabriel Garcia Marquez, Hemingway, Haruki Murakami, Albert Camus, Leo Tolstoy, dan para penulis bagus lainnya, karena mereka juga cakap bermetafora dan membuat perumpamaan.

 

Kita tentu tidak akan berlebih-lebihan menggunakan metafora dan perumpamaan, tetapi kita tetap perlu menguasai keterampilan untuk menghasilkannya. Pemain sepakbola juga hanya kadang-kadang menggunakan kepala untuk mengoper bola atau mengarahkan bola ke gawang lawan, tetapi kecakapan menyundul itu tetap harus dikuasai sama baiknya dengan kecakapan menendang bola.***

Related Posts

Post a Comment

0 Comments