Menentukan Sudut Pandang (Point of View) Karakter Tokoh dalam Cerpen

sudut-pandang-karakter-tokoh


Ketika kita membaca cerita, sebetulnya kita membaca kehidupan dari sudut pandang karakter tokoh lain. Pada masa lalu, kebanyakan cerita dituturkan dari point of view narator atau penutur cerita atau dalang. Teknik penuturan berkembang dalam cerpen dan orang terus memikirkan cara-cara penuturan yang bisa mendekati realitas.


Mendayagunakan point of view atau sudut pandang karakter tokoh dalam cerpen adalah upaya para penulis untuk mendekati realitas, sebab apa yang kita sebut realitas sesungguhnya adalah cerita dari sudut pandang seseorang dan itu bersifat subjektif.

Pada materi pelatihan menulis cerpen kali ini, A.S Laksana membagikan tulisan tentang cara menentukan sudut pandang atau point of view  karakter tokoh dalam cerpen. Berikut ulasannya beserta contoh yang disajikan.

Aku menyukai perempuan itu; dia berambut sebahu agak pirang dan suka tertawa saat bercakap-cakap dengan ayahku dan aku senang mendengar suara tertawanya, dan, setiap kali dia datang ke rumah kami, dia pasti membawa sesuatu untukku: permen, kue, boneka, dan terakhir kali dia memberiku buku bacaan. Tetapi ibuku tidak menyukainya. Ibu akan berwajah murung jika perempuan itu datang, meskipun dia tidak berkata apa pun tentang perempuan itu. Dia tidak berkata apa-apa karena ayah, sama seperti aku, menyukai perempuan itu. 

Ayahku seorang penyair dan dia banyak menulis dan aku tidak bisa memahami apa pun yang dia tulis. Kadang-kadang ibuku akan berjalan mondar-mandir ketika ayah sedang bercakap-cakap dengan perempuan itu di ruang tamu, membuka lemari pajangan, melihat-lihat gelas dan toples, menarik laci meja kecil di pojok ruangan seperti seperti mencari-cari sesuatu; mungkin dia ingin tahu apa yang ayah percakapkan dengan perempuan itu. Ayahku tidak suka jika ibu begitu, wajahnya memperlihatkan itu, tetapi ibuku sepertinya tidak tahu bahwa ayah tidak menyukai tingkah lakunya.

 

Melalui paragraf itu, saya membawa anda melihat realitas dari sudut pandang satu karakter yang kemungkinan seorang bocah, atau mungkin orang dewasa yang berperilaku seperti bocah: Dia menyukai seseorang karena orang itu sering memberinya sesuatu. Mungkin dia bocah perempuan, jika anda berpikir bahwa penyuka boneka adalah bocah perempuan. Tetapi sebetulnya kita belum bisa memastikan apakah si aku itu perempuan atau lelaki. Kita perlu detail sedikit lagi untuk bisa memastikannya.

 

Jika saya meneruskan paragraf itu, dan menambahkan detail tentang si aku, anda akan tahu apakah dia bocah lelaki atau perempuan. Ada beberapa cara untuk menginformasikan apakah si aku perempuan atau lelaki, kanak-kanak atau orang dewasa yang seperti kanak-kanak.

 

Saya bisa membuat dialog, misalnya, untuk memberitahukan nama si aku dan dari namanya anda akan tahu dia lelaki atau perempuan. Dengan cara lain lagi, saya bisa menyampaikan informasi tentang umur si aku. Jika saya menambahkan adegan ulang tahun dan si aku meniup lilin angka 32, anda akan mendapatkan informasi tentang usia tokoh kita dan ternyata dia bukan kanak-kanak.

 

Dan, jika saya mengembangkan paragraf itu menjadi cerita utuh, anda akan diajak melihat realitas dari sudut pandang seseorang berusia 32 yang tidak tumbuh menjadi dewasa.

 

Satu catatan lagi, saya membuat deskripsi tentang ruang tamu, mungkin tanpa anda menyadari saya sedang mendeskripsikan ruang tamu. Anda mendapatkan informasi bahwa di sana ada lemari pajangan, yang di dalamnya ada gelas-gelas dan toples, dan ada meja kecil berlaci di pojok ruangan. Deskripsi itu tidak terasa karena disisipkan dalam tindakan karakter ibu.


 
Baca Juga : Belajar Menulis Cerpen dengan Satu Metafora

 

Jika anda merasa ingin tahu apa yang selanjutnya akan terjadi pada mereka dan bagaimana cerita itu nanti berakhir, itu berarti paragraf di atas cukup menarik. Anda mungkin ingin tahu seperti apa sebetulnya hubungan antara ayah dan perempuan berambut agak pirang itu, bagaimana nanti hubungan ayah dan ibu, dan apakah si “aku” akan terus menyukai perempuan itu atau tidak.

 

Setidaknya, dalam paragraf itu saya menghadirkan konflik dan membangun situasi yang menyiratkan ketegangan: si aku menyukai perempuan itu, si ayah menyukai perempuan itu, si ibu tidak menyukainya, tetapi dia tidak menyampaikan apa-apa. Ada konflik batin pada si ibu. Ada konflik batin juga pada si ayah, yang disiratkan melalui informasi bahwa ayah tidak menyukai perilaku ibu, tetapi ibu tidak tahu bahwa suaminya tidak menyukai tingkah lakunya. Apakah si ayah nanti akan menegur ibu? Jika ya, apa nanti reaksi ibu terhadap teguran ayah?

 

Jadi, meskipun disampaikan datar-datar saja melalui suara polos anak-anak, atau orang dewasa yang seperti anak-anak, paragraf di atas menyimpan konflik dan ketegangan besar di bawah permukaan. Dan, itu situasi yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari: situasi tidak seperti yang tampak di permukaan.

 

*

 

Dalam teori penulisan fiksi, cerita anda akan menarik bagi pembaca jika anda berhasil membuat pembaca terhubung dengan tokoh fiksi anda. Lalu, bagaimana cara membuat pembaca terhubung dengan tokoh fiksi anda? Anda harus membuat pembaca memahaminya, memahami pendiriannya, mengenalnya secara lebih baik, dan bisa menerima pandangan dan keputusannya.

 

Itu serupa dengan posisi seseorang di depan sidang pengadilan. Seorang terdakwa akan memberikan kesaksian dalam cara yang membuat hakim memaklumi perbuatannya, bahwa dia tidak bersalah, dan, kalaupun bersalah, dia punya alasan kuat untuk melakukannya. Terdakwa juga akan berupaya keras, melalui penceritaannya, untuk menarik simpati semua orang yang ada di ruangan sidang.

 

Karakter-karakter di dalam cerita kita, sama dengan terdakwa, harus berupaya keras untuk menarik simpati pembaca. Artinya, anda yang harus berupaya keras untuk membuat para karakter cerita anda mampu menarik simpati pembaca.

 

Karakter fiksi anda harus mampu membuat pembaca memahami situasinya, merasakan kesulitan-kesulitannya, dan bisa memaklumi kesalahan-kesalahannya. Jika dia berbuat salah, itu bukan seratus persen karena kemauannya. Dia memang harus melakukan itu semua.

 

Setidaknya, jika anda dalam posisi dia, anda juga mungkin akan melakukan hal yang sama atau memiliki pertimbangan-pertimbangan yang sama untuk memutuskan sesuatu.

 

Kuncinya adalah point of view. Anda membangun keterhubungan antara pembaca dan karakter fiksi anda melalui point of view. Setiap orang, dalam situasi apa pun, akan selalu berupaya membuat kita memahami tindakan-tindakannya dan membenarkan apa yang dia lakukan.

 

Dalam ilmu sosial, kita mengenal motivated reasoning dan confirmation bias. Secara sederhana, itu adalah proses kognitif yang membuat orang akan cenderung menemukan alasan-alasan pembenar bagi dirinya, pandangan-pandangannya, dan keputusan-keputusannya.

 

Ketika anda mencintai seseorang, anda akan menemukan semua alasan yang anda perlukan untuk mencintai orang itu. Ketika kemudian anda membenci orang yang sama, anda juga akan menemukan semua alasan untuk membenarkan pendirian anda bahwa orang itu memang patut dibenci.

 

*

 

Karakter-karakter fiksi kita, sama dengan orang-orang sesungguhnya, juga punya semua alasan pembenar untuk tindakan-tindakannya. Itu mekanisme pertahanan diri, mekanisme survival makhluk hidup yang bernama manusia. Jika kita melakukan sesuatu tanpa alasan yang bisa membenarkan perbuatan itu, berarti kita bukan makhluk berpikir–atau, lebih akurat, bukan makhluk yang pandai membuat alasan.

 

Karena itu latihan yang bagus untuk menguasai kecakapan membangkitkan simpati pembaca terhadap karakter fiksi kita adalah latihan point of view.

 

Anda bisa berlatih point of view dengan cara bermain-main saja. Misalnya, anda menceritakan ulang cerpen yang anda baca dengan menggunakan point of view tokoh lain dalam cerita itu, bisa dengan narasi orang pertama atau orang ketiga. Pasti anda akan mendapatkan cerita yang berbeda.

 

Dongeng Cinderella diceritakan dari point of view ibu tiri mungkin akan melahirkan cerita yang membuat orang bisa memahami posisi si ibu tiri, karakter yang selama ini dibenci oleh para pembaca Cinderella. Jalan ceritanya tetap sama, tetapi pasti ada hal baru yang akan diterima oleh pembaca ketika si ibu tiri yang menceritakan kisah itu.

 

Jika si ibu tiri kita jadikan tokoh utama, dia harus bisa membuat pembaca bersimpati kepadanya. Setidaknya kita harus membuat pembaca memahami kenapa dia seperti itu. Itu yang dilakukan oleh pembuat film Joker. Dia membuat kita bisa bersimpati kepada karakter penjahat dalam cerita Batman.

 

*

 

Dua orang, yang satu pemurung dan satunya periang, datang ke sebuah pesta. Mereka niscaya akan merasakan hal yang berbeda di tengah situasi yang sama. Ketika mereka menceritakan suasana pesta, mereka akan menceritakan hal yang berbeda. Seorang periang, yang senang berkawan dan memiliki banyak kawan di pesta itu, kemungkinan besar akan menganggap pesta itu menyenangkan dan dia akan memfokuskan ceritanya pada hal-hal yang menyenangkan.

 

Bagi seorang pemurung, pesta itu mungkin membosankan, atau bahkan menjijikkan, dan cerita yang dia tuturkan akan berfokus pada hal-hal yang membenarkan pandangannya. Dia akan melihat detail ruangan, orang-orang yang hadir, pakaian yang mereka kenakan, dandanan rambut mereka, dan mengomentari semua itu dalam narasi yang sesuai dengan kemurungannya. Begitu dia melihat di pesta itu orang yang tidak dia sukai, situasi pesta itu mungkin segera menjadi malapetaka baginya.

 

Dia memasuki ruangan itu, sebuah aula yang tiap Jumat digunakan untuk salat jamaah dan pada waktu-waktu tertentu, seperti malam itu, berubah menjadi neraka (semoga Tuhan mengampuni mereka), dan pandangannya tertumbuk pada Nita, si bebek yang merasa dirinya ratu kecantikan, dan anak itu, dengan suaranya yang menyakiti telinga, berteriak memanggil bebek lainnya yang baru datang. Martini, bebek berwarna biru.

 

Dan, lihatlah, sesama bebek saling memuji: gaunmu bagus sekali, kalungmu indah, ya, ampun akhirnya kamu ambil juga sepatu itu, eh, tahu nggak berapa kubeli… Makhluk-makhluk yang dangkal!

 

Serupa dengan paragraf contoh yang pertama, kita bisa mendeskripsikan tempat atau situasi dengan cara lebih menarik dengan menggunakan point of view karakter. Cara ini akan membuat deskripsi kita hidup.

 

*

 

Penulis Jepang Ryunosuke Akutagawa menulis cerita pendek Di Sebuah Hutan Kecil dengan menggunakan point of view tujuh karakter. Cerpen itu menceritakan seseorang yang terbunuh di sebuah hutan, disampaikan melalui penuturan seorang penebang kayu, seorang biksu pengembara yang melihat kejadian itu, seorang polisi, perempuan tua, penyamun pelaku pembunuhan, perempuan yang datang ke kuil, dan orang yang terbunuh itu sendiri, melalui perantaraan seorang cenayang. Masing-masing orang menuturkan kesaksian di depan Komisaris Besar Polisi.

 

Akutagawa dinilai setara dengan penulis Perancis Gustave Flaubert, pengarang Madame Bovary. Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1913, ia mempelajari Sastra Inggris di Universitas Kerajaan, Tokyo, dan lulus pada 1916. Pada tahun itu juga ia menerbitkan tiga cerita pendek--Hidung, Bubur, dan Saputangan--yang memberinya ketenaran. Pada 1919, ia menerbitkan kumpulan cerpennya yang paling terkemuka Dalang Boneka.

 

Seusai Perang Dunia I, ketika banyak penulis terpesona kepada naturalisme seks dan politik, Akutagawa menempuh jalan berbeda: Ia kembali ke mistisisme folklor tradisional dan legenda-legenda tua. Salah satu cerpennya Rashomon difilmkan oleh Akira Kurosawa.

 

Di awal 2000, teman saya menerjemahkan cerpen-cerpen Akutagawa; saya mengedit naskah itu dan menerbitkannya. Cerpen Di Sebuah Hutan Kecil ada dalam kumpulan itu. Saya melampirkannya dalam materi ini. Selamat membacanya.

 

*

 

 

Di Sebuah Hutan Kecil

Ryunosuke Akutagawa

 

 

karakter-tokoh-dalam-cerpen

Kesaksian penebang kayu di depan Komisaris Besar Polisi

 

Benar, Tuan, memang sayalah yang menemukan mayatnya. Pagi itu, seperti biasanya, saya pergi menebang kayu cedar jatah harian saya ketika saya temukan mayatnya di sebuah hutan kecil di lembah pegunungan itu. Lokasi persisnya? Sekitar seratus lima puluh meter dari punggung jalan Yamashina, di sebuah hutan bambu dan cedar yang terpencil.

 

Mayatnya membujur telentang, mengenakan kimono sutra kebiruan dan hiasan kepala gaya Kyoto yang sudah kusut. Sebuah tikaman pedang menembus dada. Daun-daun bambu di sekelilingnya merah ternoda darah. Tidak, darah itu tak mengalir lagi. Saya yakin lukanya sudah mengering. Dan seekor lalat besar hinggap di sana, sama sekali tak terusik oleh langkah kaki saya.

 

Anda bertanya barangkali saya melihat sebilah pedang atau benda lain yang sejenis?

 

Tidak, sama sekali tidak, Tuan. Hanya saya temukan seutas tali di akar sebatang pohon cedar di dekatnya. Dan… selain seutas tali, juga saya temukan sebuah sisir rambut. Hanya itu. Sepertinya laki-laki itu melakukan perlawanan sebelum akhirnya tewas, sebab rumput dan daun-daun bambu di sekitarnya tampak bekas terinjak-injak.

 

"Adakah seekor kuda di dekatnya?"

 

Tidak, Tuan. Manusia saja sulit masuk ke sana, apalagi kuda.

 

 

Kesaksian biksu pengembara di depan Komisaris Besar Polisi

 

Waktunya? Saya yakin kira-kira tengah hari kemarin, Tuan. Orang yang nahas itu sedang dalam perjalanan dari Sekiyama ke Yamashina. Waktu itu dia sedang berjalan menuju Sekiyama bersama seorang perempuan yang menemaninya di atas punggung kuda, dan sejak itu saya tahu bahwa perempuan itu istrinya. Syalnya menjuntai dari kepala hingga menutupi wajahnya. Yang tampak oleh saya hanyalah warna pakaiannya, sebuah setelan warna bunga bungur. Kudanya berwarna coklat kemerahan dengan bulu tengkuk yang bagus. Tinggi perempuan itu? Oh, sekitar empat kaki lima inci. Karena saya pendeta Budha, saya hanya melihat sedikit detail tubuhnya. Tetapi, laki-laki itu membawa sebilah pedang dan sebuah busur serta anak panah. Dan, seingat saya, dia membawa sekitar dua puluh anak panah yang aneh di wadahnya.

 

Saya tak menangkap tanda-tanda sedikit pun kalau laki-laki itu akan mengalami nasib nahas. Umur manusia sungguh bagai embun pagi atau kilatan cahaya. Rasanya kata-kata tidaklah cukup untuk menyatakan simpati saya kepada laki-laki itu.

 

 

Kesaksian seorang polisi di depan Komisaris Besar Polisi

 

Orang yang saya tangkap? Dia penyamun terkenal bernama Tajomaru. Laki-laki itu sudah terjatuh dari kudanya ketika saya tangkap. Dia berteriak di atas jembatan di Awataguchi. Waktunya? Awal petang kemarin. Sebagai catatan, harus saya katakan bahwa beberapa hari sebelumnya saya sudah berusaha menangkapnya, sayangnya dia bisa lolos. Dia memakai kimono sutra warna biru gelap dan sebilah pedang lurus. Dan, sebagaimana anda ketahui, dia membawa sebuah busur dan sejumlah anak panah. Anda katakan bahwa busur dan anak panah ini sama dengan kepunyaan orang yang tewas itu? Kalau begitu tentu Tajomaru pembunuhnya. Busurnya dibalut lembaran kulit, wadah anak panahnya dipernis hitam, tujuh anak panah dengan bulu elang,--seperti itulah senjata miliknya. Benar, Tuan, seperti yang anda katakan, kudanya berwarna coklat kemerahan dengan bulu tengkuk yang bagus. Di dekat jembatan batu itu saya temukan kuda yang sedang makan rumput di pinggir jalan, dengan tali kekang panjang menjuntai. Tentulah kehendak Tuhan sehingga laki-laki itu terlempar dari kudanya.

 

Dari semua penyamun yang berkeliaran di Kyoto, Tajomaru yang paling menyengsarakan perempuan-perempuan di kota itu. Di musim gugur lalu seorang perempuan bersuami yang datang ke pegunungan di belakang Pindora, agaknya habis berkunjung ke kuil Toribe, dibunuh bersama seorang gadis. Diduga itu perbuatan Tajomaru. Jika dia membunuh laki-laki itu, tak bisa dibayangkan apa yang dilakukannya kepada istri si korban. Saya mohon Bapak Komisaris yang mulia juga berkenan mempertimbangkan masalah ini.

 

 

Kesaksian perempuan tua di depan Komisaris Besar Polisi

 

Benar, Tuan, itu memang mayat suami anak perempuan saya. Dia bukan berasal dari Kyoto. Dia seorang samurai dari kota Kokufu di Provinsi Wakasa. Namanya Kanazawa no Takehiko, dan umurnya dua puluh enam. Dia laki-laki berpembawaan lembut, sehingga saya yakin dia tidak suka membuat marah orang lain.

 

Anak perempuan saya? Namanya Masago, dan umurnya sembilan belas. Dia anak perempuan yang bergairah, dan menyukai kesenangan, namun saya yakin dia tidak pernah mengenal laki-laki lain selain Takehiko. Berperawakan kecil, berwajah lonjong, kulit wajahnya gelap dengan sebuah tahi lalat di ujung mata kirinya.

 

Kemarin Takehiko pergi ke Wakasa bersama anak perempuan saya. Nasib buruk apa yang menyeret hidupnya pada kematian mengenaskan seperti itu? Saya ikhlas kehilangan menantu, tetapi cemas terhadap nasib anak perempuan saya. Demi Tuhan, mohon carikan anak perempuan saya sampai ketemu. Saya benci sekali pada si penyamun Tajomaru, atau siapa pun namanya. Bukan hanya menantu lelaki saya, tetapi juga anak perempuan saya… (kata-kata terakhir perempuan itu tenggelam dalam air mata).

 
 Baca Juga : Menyusun Cerpen Secara Detail dan Kecakapan Berkalimat

Pengakuan Tajomaru

 

Saya membunuh laki-laki itu, bukan istrinya. Ke mana perempuan itu pergi? Saya tak bisa mengatakan. Oh, tunggu sebentar. Penyiksaan tidak akan bisa membuat saya mengakui sesuatu yang tidak saya ketahui. Sekarang persoalan sudah sampai puncaknya, saya tidak ingin menyembunyikan apa pun dari anda.

 

Selepas tengah hari kemarin saya berpapasan dengan suami-istri itu. Lalu sehembusan angin bertiup, dan menyingkap syal perempuan itu yang terjuntai, sehingga saya bisa melihat wajahnya sekilas. Hanya sekilas, lalu wajahnya tertutup lagi dari pandangan saya. Perempuan itu tampak seperti seorang bodhisatwa. Maka saat itu juga saya putuskan untuk merebutnya, meskipun jika harus membunuh suaminya.

 

Mengapa? Bagi saya membunuh bukanlah masalah yang besar akibatnya seperti yang mungkin anda bayangkan. Ketika seorang perempuan direbut, bagaimanapun suaminya harus dibunuh. Saya membunuhnya dengan pedang yang ada di pinggang saya. Sayakah satu-satunya yang membunuh orang? Anda tidak menggunakan pedang. Anda membunuh orang dengan kekuasaan anda, dengan uang anda. Terkadang anda membunuh orang dengan dalih demi kebaikan mereka. Benar, memang mereka tidak mengalirkan darah. Mereka sehat-sehat saja, tapi itu toh tidak ada bedanya dengan anda telah membunuh mereka. Mustahil untuk mengatakan siapa penjahat yang lebih besar, anda ataukah saya. (Sebuah senyum mengejek.)

 

Namun sungguh bagus jika saya dapat merebut seorang perempuan tanpa membunuh suaminya. Karena itu saya memutuskan merebut perempuan itu dan menahan diri sekuatnya agar tidak membunuh laki-laki itu. Tetapi itu mustahil di atas jalan Yamashina. Jadi saya bujuk suami-istri itu masuk ke area pegunungan.

 

Itu mudah. Saya menjadi kawan perjalanan mereka, dan saya katakan kepada mereka bahwa ada satu gundukan tanah tua di pegunungan sana, dan bahwa saya telah menggalinya dan menemukan beberapa cermin serta pedang. Lalu saya ceritakan kepada mereka bahwa saya telah mengubur benda-benda itu di sebuah hutan kecil di belakang pegunungan itu, dan bahwa saya mau menjualnya dengan harga rendah kepada orang yang ingin memilikinya. Kemudian… anda tahu, mengerikan sekali bukan? Laki-laki itu mulai tergerak oleh cerita saya. Mereka memacu kuda menuju pegunungan itu bersama saya dalam waktu kurang dari setengah jam.

 

Sesampainya di pinggir hutan kecil itu, saya katakan kepada mereka bahwa barang-barang berharga itu saya pendam di tengah hutan, dan saya minta mereka untuk mendekat dan melihat. Laki-laki itu tak keberatan–dia dibutakan oleh ketamakan. Perempuan itu mengatakan akan menunggu di atas punggung kuda. Wajar saja jika perempuan itu berkata demikian ketika melihat hutan lebat. Saya katakan sejujurnya, rencana saya berjalan sebagaimana diharapkan, sehingga hanya kami berdua yang masuk ke dalam hutan kecil itu, meninggalkan perempuan itu sendiri.

 

Hutan kecil itu sebagian hanya dirimbuni bambu. Sekitar lima puluh yard di depannya terdapat rumpun pohon cedar di bagian yang agak terbuka. Itu tempat yang aman untuk tujuan saya. Sambil terus berjalan memasuki hutan itu, saya membuat cerita bohong yang masuk akal bahwa benda-benda itu saya tanam di bawah pohon cedar. Ketika saya ceritakan itu kepadanya, dia mempercepat jalannya ke arah pohon cedar ramping yang tampak di hutan itu. Beberapa saat kemudian pohon-pohon bambu tampak semakin jarang, dan kami mengarah ke tempat sejumlah pohon cedar tumbuh berjajar. Segera setelah kami sampai di sana, saya menyergapnya dari belakang. Dia sangat kuat sebab dia seorang pendekar pedang yang terlatih, namun dia sangat terkejut, sehingga tak berdaya. Saya segera mengikatkan tubuhnya pada akar sebatang pohon cedar. Di mana saya mendapatkan tali? Sebagai penyamun saya selalu membawa tali, karena sewaktu-waktu saya mungkin harus memanjat tembok. Tentu saja sangat mudah untuk membuatnya tak bisa teriak; saya menyumpal mulutnya dengan daun-daun bambu yang rontok.

 

Setelah melumpuhkan laki-laki itu, saya mendatangi istrinya dan memintanya masuk ke hutan melihat suaminya, sebab suaminya tiba-tiba jatuh sakit. Tak perlu dikatakan bahwa rencana ini juga berjalan sangat baik. Perempuan itu kemudian melepas topi anyamnya dan saya gandeng tangannya berjalan ke tengah hutan itu. Begitu melihat suaminya, dia langsung menghunus sebilah pedang kecil. Saya belum pernah melihat seorang perempuan yang demikian kalap. Jika tidak waspada, pinggang saya pasti sudah tertikam. Saya menghindar, namun dia terus menyerang. Serangannya benar-benar bisa melukai atau membunuh saya. Tetapi saya adalah Tajomaru. Saya pukul jatuh pedang kecilnya tanpa harus mencabut pedang saya sendiri. Perempuan paling garang itu pun menjadi tak berdaya tanpa senjata. Akhirnya saya dapat memuaskan nafsu saya padanya tanpa membunuh suaminya.

 

Sungguh… tanpa membunuh suaminya. Saya tak punya keinginan membunuh laki-laki itu. Saya hampir kabur, meninggalkan perempuan yang menangis itu, ketika dia dalam keadaan putus asa mencengkeram tangan saya sepenuh tenaga. Dalam kalimat tersendat-sendat, dia minta agar suaminya atau saya–salah satu harus mati. Dia berkata lebih baik mati daripada aibnya diketahui oleh dua lelaki. Dengan suara terengah-engah dia mengatakan mau menjadi istri dari salah seorang yang masih hidup. Kemudian nafsu untuk membunuh laki-laki itu menguasai saya. (Keriuhan yang muram.)

 

Dengan bercerita kepada anda seperti ini, tentunya saya tampak lebih keji dibandingkan anda. Tetapi itu karena anda tidak melihat wajah perempuan itu, terutama matanya yang hangat saat itu. Ketika mata saya bertatapan dengan matanya, timbul hasrat untuk menjadikannya istri saya meskipun seandainya petir akan menyambar saya. Saya begitu berhasrat untuk membuat dia menjadi istri saya… inilah satu-satunya hasrat yang memenuhi pikiran saya. Ini bukan sekadar birahi, sebagaimana yang mungkin anda bayangkan. Saat itu, jika saya tak punya hasrat lain selain birahi, tentunya saya tak segan-segan memukul jatuh perempuan itu dan kabur. Dengan begitu saya tak menodai pedang saya dengan darah laki-laki itu. Tetapi saat saya memandang wajah perempuan itu di hutan yang gelap, saya putuskan untuk tidak keluar dari sana tanpa membunuh laki-laki itu.

 

Tetapi saya tidak suka menggunakan cara yang tak adil dalam membunuhnya. Saya lepaskan ikatannya dan saya minta dia bertarung pedang dengan saya. (Tali yang ditemukan di akar cedar adalah tali yang saya jatuhkan saat itu.) Terbakar oleh kemarahan, laki-laki itu menghunus pedang tebalnya. Dan secepat kilat dia merangsek ke arah saya dengan beringas, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tak perlu saya ceritakan kepada anda bagaimana akhir dari perkelahian kami. Pukulan kedua puluh tiga… mohon diingat. Saya masih terkesan pada kenyataan itu. Belum pernah ada satu orang pun di dunia ini yang terlibat pertarungan pedang dengan saya hingga dua puluh pukulan. (Sebuah senyum puas.)

 

Ketika dia tumbang, saya membalikkan badan ke arah perempuan itu, menurunkan pedang saya yang bernoda darah. Namun betapa terkejutnya saya, perempuan itu telah menghilang. Saya mencari-cari ke mana kiranya dia melarikan diri. Saya mencarinya ke dalam rumpun pohon cedar. Saya memusatkan pendengaran, namun yang terdengar hanyalah erangan dari tenggorokan orang yang sedang sekarat.

 

Begitu kami memulai pertarungan pedang, mungkin perempuan itu kabur menembus hutan untuk mencari pertolongan. Ketika sampai pada pikiran itu, saya putuskan bahwa ini adalah persoalan hidup dan mati bagi saya. Karenanya, saya merampas pedang, busur, dan anak panah laki-laki itu, dan kabur menuju jalan pegunungan. Di sana saya menemukan kuda perempuan itu sedang makan rumput dengan tenang. Takk ada gunanya menceritakan detail perjalanan itu, namun, sebelum saya memasuki kota, pedang itu sudah saya jual. Hanya itulah pengakuan saya. Saya tahu bahwa kepala saya toh akan digantung dengan rantai. Karenanya putuskanlah hukuman terberat kepada saya. (Sebuah sikap menantang.)

 

 

Pengakuan seorang perempuan yang datang ke kuil Shimizu

 

Laki-laki yang memakai kimono sutra biru, setelah memaksa saya menyerahkan diri kepadanya, tertawa mengejek saat dia melihat suami saya yang teriikat. Suami saya tentu sangat takut waktu itu! Namun semakin kuat dia berusaha melepaskan diri, justru semakin kuat tali itu menjeratnya. Tanpa sadar saya berlari terhuyung-huyung ke arah suami saya. Atau tepatnya berusaha lari ke arahnya, tetapi laki-laki itu memukul saya hingga jatuh. Persis pada saat saya terjatuh itulah saya melihat pada mata suami saya kesan yang tak bisa digambarkan. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan… matanya membuat saya merasa ngeri sampai sekarang. Tatapan sekilas dari mata suami saya itu, yang tak dapat bicara sepatah kata pun, menyatakan seluruh perasaannya kepada saya. Kilatan di matanya tidak menunjukkan kemarahan ataupun kesedihan… hanya sorot dingin, pandangan jijik. Pandangan matanya lebih menyakitkan dibanding pukulan penyamun itu, sehingga tanpa sadar saya berteriak dan jatuh pingsan.

 

Beberapa waktu kemudian saya siuman, dan laki-laki dengan pakaian sutra biru itu sudah raib. Saya hanya melihat suami saya yang masih terikat di akar pohon cedar. Saya bangkit dari daun-daun bambu dengan susah payah dan memandangi wajah suami saya, tetapi tatapan matanya masih tetap sama seperti sebelumnya.

 

Di dasar sorot mata yang dingin merendahkan itu ada kebencian. Malu, sedih, dan marah… Saya tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan saya saat itu. Dengan terhuyung-huyung saya berjalan mendekati suami saya.

 

"Takehiko," saya berkata kepadanya, "karena segalanya sudah terjadi, saya tak bisa hidup bersamamu lagi. Saya sudah memutuskan untuk mati… tetapi kau pun harus mati. Kau mengetahui aibku. Aku tak dapat membiarkanmu hidup karena itu."

 

Hanya itu yang bisa saya katakan. Dia masih tetap memandang saya dengan jijik dan merendahkan. Dengan jantung berdegup keras, saya mencari pedangnya. Pastilah pedangnya telah dibawa penyamun itu. Tak satu pun dari pedang maupun busur dan anak panahnya kelihatan di hutan itu. Tapi untunglah pedang kecil saya tergeletak di kaki saya. Sambil mengangkatnya di atas kepala, saya berkata sekali lagi, "Sekarang serahkanlah nyawamu kepadaku. Aku akan menyusul segera."

 

Ketika mendengar kata-kata itu, dia sulit menggerakkan bibirnya. Karena mulutnya dijejali daun-daunan, tentu suaranya tidak terdengar sama sekali. Tetapi sekilas saya memahami kata-katanya. Sambil memandang hina diri saya, pandangannya seperti mengatakan, "Bunuhlah saya." Antara sadar dan tidak, saya menikamkan pedang kecil itu menembus kimono warna ungu lilac ke dalam dadanya.

 

Saya yakin saat itu saya pingsan lagi. Ketika kemudian saya berusaha melihatnya, dia telah menghembuskan nafas terakhir–masih dalam ikatan. Seberkas cahaya matahari yang mulai tenggelam menerobos rumpun cedar dan bambu, dan jatuh pada wajahnya yang pucat. Sambil menahan Isak, saya melepaskan tali dari tubuhnya yang sudah tak bernyawa. Dan … dan entah apa yang terjadi pada diri saya; saya tak mampu lagi menceritakan kepada anda. Yang pasti saya tak punya kekuatan untuk mati. Saya menikam tenggorokan saya sendiri dengan pedang kecil itu, saya melemparkan diri ke dalam kolam di kaki pegunungan itu, dan saya mencoba bunuh diri dengan beberapa cara. Karena tak mampu mengakhiri hidup saya sendiri, saya masih hidup di dalam aib. (Sebuah senyum sunyi.) Sebagai orang yang tak berharga seperti diri saya sekarang, tentulah saya tak dipedulikan bahkan oleh Kwannon yang paling murah hati. Saya membunuh suami saya sendiri. Saya telah diperkosa oleh penyamun itu. Apa yang bisa saya lakukan? Apa yang bisa saya… saya… (Isaknya semakin keras.)

 

 

Penuturan orang yang terbunuh, melalui seorang cenayang

 

Setelah memperkosa istri saya, penyamun itu duduk di sana dan mulai merayunya. Tentu saja saya tak dapat bicara. Seluruh tubuh saya diikat kuat ke akar pohon cedar. Tetapi saat itu saya mengedipkan mata ke arah istri saya beberapa kali, sebanyak kata untuk mengucapkan, "Jangan percaya pada penyamun itu." Saya ingin menyampaikan beberapa pesan semacam itu. Tetapi istri saya, yang bersimpuh murung di atas daun-daun bambu, menatap lekat ke pangkuannya sendiri. Sikapnya memberi kesan bahwa ia sedang mendengarkan perkataan laki-laki itu. Saya didera cemburu. Sementara laki-laki penyamun itu terus saja bicara dengan lihai, dari satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain. Akhirnya penyamun itu membuat tawaran yang berani dan lancang. "Sekali kehormatanmu ternoda, hubungan dengan suamimu tak akan baik selamanya, karena itu tidakkah kau bersedia menjadi istriku? Cintaku padamu itulah yang mendorongku memperkosamu."

 

Ketika penjahat itu bicara, istri saya mengangkat wajah seakan kepayang. Dia belum pernah tampak secantik saat itu. Apa yang dikatakan oleh istri saya yang cantik dalam menjawab tawaran laki-laki itu saat saya duduk terbelenggu di sana? Sekarang saya tidak lagi hidup di dunia ini, tetapi saya selalu dibakar marah dan cemburu tiap kali ingat jawaban istri saya…, "kalau begitu bawalah aku bersamamu ke mana pun kau pergi."

 

Memang itu bukan sepenuhnya dosa istri saya. Jika semua itu dosanya, tentu saya tak mengalami siksaan berat di kegelapan. Ketika perempuan itu meninggalkan hutan seperti dalam mimpi, dengan tangannya di genggaman penyamun itu, tiba-tiba dia memucat dan menunjuk ke arah saya yang terbelenggu pada akar pohon cedar seraya berkata, "Bunuh dia! Aku tak bisa kawin denganmu selama dia hidup."

 

"Bunuh dia!" teriaknya berkali-kali, seakan menjadi gila. Sekarang pun kata-kata itu bisa membuat saya terpelanting ke dalam ngarai kegelapan tanpa dasar. Pernahkah kata-kata semacam itu keluar dari mulut manusia sebelumnya? Pernahkah kutukan semacam itu terdengar di telinga manusia, meski sekali saja? Meski sekali saja… (Sebuah teriakan mencemooh tiba-tiba terdengar.) Mendengar kata-kata perempuan itu, si penyamun sendiri pun menjadi pucat. "Bunuh dia!" teriaknya sembari mencengkram tangan laki-laki itu. Menatap tajam pada perempuan itu, si penyamun tidak menjawab ya ataupun tidak… namun jawaban laki-laki itu belum sempat terpikir oleh saya sampai istri saya dijatuhkan di atas daun-daun bambu. (Sebuah teriakan mencemooh terdengar lagi.) Sambil menyilangkan tangan dengan tenang, laki-laki itu memandang saya dan berkata, "Apa yang akan kau lakukan terhadap perempuan itu? Membunuhnya atau menyelamatkannya? Kau hanya perlu mengangguk. Membunuhnya?" Hanya untuk kata-kata itulah saya bersedia memaafkan kejahatannya.

 

Ketika saya ragu-ragu, istri saya menjerit dan berlari ke tengah hutan. Penyamun itu berusaha menangkapnya dengan cepat tetapi gagal bahkan untuk merenggut lengan bajunya.

 

Setelah istri saya melarikan diri, laki-laki itu mengambil pedang, busur, dan anak panah saya. Dengan satu sabetan dia memotong salah satu ikatan saya. Saya ingat dia menggumam, "Nasibku ditentukan nanti." Kemudian dia kabur dari hutan. Semuanya sunyi setelah itu. Tidak, saya mendengar seseorang menangis. Sambil membuka sisa ikatan di tubuh, saya dengarkan dengan saksama, dan saya perhatikan ternyata itu adalah tangisan saya sendiri. (Diam lama.)

 

Saya bangkit dari akar pohon cedar itu dengan tubuh yang sudah kehabisan tenaga. Di depan saya berkilau pedang kecil yang dijatuhkan istri saya. Saya mengangkat pedang itu dan menikamkan ke dada saya sendiri. Sejumput darah mengalir ke mulut saya, tapi saya tak merasakan sakit sedikit pun. Ketika dada saya semakin dingin, semuanya diam seperti mayat-mayat di kuburan mereka. Dunia begitu sunyi. Tak terdengar satu kicau burung pun di atas kuburan di lembah pegunungan itu. Cahaya kian redup, sampai akhirnya pohon-pohon cedar dan bambu lenyap dari pandangan. Saya terkapar di sana dalam selubung kesunyian.

 

Kemudian seseorang bergerak pelan ke arah saya. Saya berusaha melihat siapa dia. Tetapi kegelapan telah menyelimuti sekeliling saya. Seseorang… seseorang itu kemudian mencabut pelan-pelan pedang kecil itu dari dada saya dengan tangannya yang tak terlihat. Bersamaan dengan itu, sekali lagi darah mengalir ke dalam mulut saya. Sejak saat itu dan untuk selamanya saya tenggelam ke dalam ruang kegelapan.[]

 

*

 

Joko, point of view adalah elemen penting penceritaan. Lihatlah, saya mulai latah dan apa saja saya katakan penting. Semua elemen untuk menghasilkan cerita yang bagus tentu saja penting: pembukaan, penutupan, konflik, klimaks, penokohan, plot, dialog, setting, dan sebagainya. Jika tidak penting, untuk apa dibahas?

 

Kita sudah sampai ke materi ke-14 sekarang dan tinggal enam hari lagi kelas ini berakhir. Saya berharap anda sudah mulai menuliskan cerita dan merampungkannya ketika kelas ini berakhir dan bisa menulis lagi cerita berikutnya.

Kita libur dua hari. Selamat melatih diri dengan point of view. Sampai jumpa dua hari lagi.***

Related Posts

Post a Comment

0 Comments