Dialog adalah bagian yang sangat licin dalam penulisan cerita. Menurut saya, yang paling sulit. Para pemula sering keliru menyamakan dialog dengan percakapan sehari-hari, sehingga mereka membuat dialog seperti menulis siaran langsung percakapan antartetangga. Mereka pikir, seperti itulah dialog yang realistis, padahal itu adalah dialog cerpen yang buruk.
Dialog yang buruk berarti menulis tanpa imajinasi. Cerpenis kehilangan ruh menciptakan alur adegan melalui dialog secara elegan. Seolah nyata, namun buruk dibaca. Penulis harus bisa melatih diri menulis dialog cerpen yang menarik.
Menulis dialog cerpen yang buruk akan berpengarug terhadap kualitas karya cerpen yang disajikan. Kali ini A.S Laksana membagikan tips membuat dialog yang menarik dalam cerpen.
“Selamat malam, Bu.”
“Selamat malam, Rani. Ada perlu apa?”
“Ini ada titipan dari Ibu.”
“Walah… repot-repot.
“Enggak repot kok, Bu.”
“Terima kasih, ya.”
Percakapan semacam itu tidak akan pernah menjadi dialog, apalagi dialog yang baik.
*
Dialog memiliki banyak fungsi di dalam cerita. Dengan dialog, kita menghidupkan karakter dan menjadikannya bersuara. Dalam narasi, kehadiran karakter diwakili oleh narator atau penutur cerita. Hanya melalui dialog karakter mengungkapkan diri melalui suaranya sendiri.
Tiga dialog di bawah ini bisa menjadi contoh bagaimana masing-masing larik mengungkapkan watak karakter yang berbeda-beda.
"Angkat bokongmu dan keluar main sana. Mendekam saja seperti kepompong."
"Keluarlah barang sejenak, kamu perlu juga menghirup udara segar."
"Jika aku harus berlutut, aku akan melakukannya. Apa pun akan kulakukan asalkan kamu mau bermain lagi seperti semula."
Apa lagi yang diungkapkan melalui dialog?
Ketika ditulis dengan baik, dialog membantu kita menciptakan karakter yang meyakinkan. Ia mengungkapkan hal penting tentang masa lalu karakter, hasrat dan dorongannya, kekuatan dan kekurangannya.
Itu aspek manusiawi karakter-karakter kita. Dengan dialog kita menyampaikan semua aspek manusiawi yang membuat pembaca akan mencintai karakter yang kita ciptakan, mendukung mereka, atau membenci mereka.
Bagaimana dialog bisa meningkatkan kualitas tulisan?
Dengan dialog kita bisa menyampaikan lapisan-lapisan rumit--dan itu adalah kerumitan yang indah--dalam hubungan antarkarakter. Penulis yang cakap tahu bagaimana menggunakan dialog untuk menggambarkan situasi mencekam: trauma para karakter, prasangka mereka, kekurangan dan kekuatan mereka, harapan dan impian mereka.
Dan pengembangan karakter hanyalah salah satu fungsi dialog. Beberapa fungsi lain di antaranya:
Mendorong maju alur cerita dan membawanya menuju klimaks.
Mengisi adegan dengan emosi.
Meningkatkan ketegangan antarkarakter
Membangun ketegangan pada titik-titik penting perkembangan cerita.
John Gardner, novelis dan penulis esai Amerika, menyebut dialog adalah landasan fiksi yang baik. Dialog akan menghidupkan cerita kita--tetapi hanya jika ia ditulis secara benar.
Apa yang membuat dialog menjadi jelek?
Yang membuat dialog menjadi jelek adalah kecakapan penulisnya tidak memadai untuk menulis dialog dialog yang bagus. Jika seorang penulis tahu cara membuat dialog yang bagus, tidak mungkin ia menulis dialog-dialog yang jelek di dalam ceritanya.
Karena pengetahuannya tentang penulisan dialog kurang, dan setiap menulis cerita ia selalu menulis dialog jelek, ia menjadi terlatih dan ahli di dalam menulis dialog jelek.
Seperti apa contoh dialog jelek?
Ada dua jenis dialog jelek yang sering kita jumpai dalam cerita, yaitu dialog palsu dan dialog terang benderang. Jika anda sudah mengikuti kelas dialog, materi ini untuk mengingatkan kembali tentang salah satu topik yang kita bahas.
Dialog palsu
Itu dialog tak wajar di dalam cerita, yaitu dialog yang diperalat oleh penulisnya untuk tujuan-tujuan di luar kepentingan cerita. Berkhotbah, menganalisa keadaan masyarakat, menyampaikan secara gamblang cerita latar belakang antarkarakter, menyampaikan falsafah hidup atau berbagai renungan, atau antarkarakter saling memberi tahu situasi yang mereka hadapi bersama, itu semua bisa kita masukkan ke dalam golongan dialog palsu.
Nama lain dialog palsu adalah info dumping. Penulis melakukan praktek info dumping dengan memperkosa dialog sebagai sekadar alat untuk menggelontorkan informasi yang ingin disampaikan oleh penulisnya kepada pembaca. Jadi, bukan ceritanya yang berkepentingan dengan dialog semacam ini, melainkan penulisnya.
Cerita hanya berkepentingan dengan adanya dialog yang terasa wajar. Penulisnya yang berkepentingan dengan dialog tidak wajar.
Perhatikan petilan di bawah ini:
Di zaman baheula, ada seorang bromocorah yang divonis hukuman mati. Ulahnya membunuh, menjarah, menyiksa, sangat biadab. Seluruh warga mengutuk dan berdoa supaya bajingan itu cepat mati. Dia dianggap iblis yang memberi isyarat hari kiamat sudah tiba.
Tak hanya terbatas menjarah orang kaya, bandit itu juga tak segan-segan merampok, memperkosa, membantai rakyat jelata yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan darah dingin, saraf baja, ia hirup nikmat kutukan biadab bagai pujian, sembari nyengir gila. Ia meyakini dapat kepercayaan untuk menyelamatkan dunia dan kehidupan dengan dana dari perdagangan narkoba.
“Manusia adalah serigala kata Thomas Hobbes. Untuk menggembalakannya perlu macan,” kata bajingan itu bangga. “Maka, aku jadi Raja Rimba. Hukum sudah tak bertaring lagi. Hukum hanya sandiwara untuk menipu sejarah. Itu bukan infrastruktur peradaban, bukan pasukan pengawal-pengaman kehidupan, bukan Robin Hood dari rimba Sherwood. Hukum hanya ular kobra, black mamba, bagi rakyat kecil. Hukum hanya pilar kekuasaan untuk mengamankan keangkaraan kesewenang-wenangan kekaisaran yang hanya bercita-cita tunggal: membekukan kita sebagai abdi Kaisar! Berhala yang mencincang kebebasan-kemerdekaan itu harus dicincang rata dengan tanah. Di atasnya kita bangun kerajaan masa depan yang tanpa batas. Itulah kemerdekaan sejati yang asli. Dan, aku yang akan menjamin tak seorang pun yang akan berani melanggar aturan ketertiban dan kedamaian. Karena baru sampai ada getaran niat saja di dadanya sudah langsung aku sikat musnah tandas zonder basa-basi permisi lagi yang isinya cuma bau tai!”
Semua orang mengurut dada. Takjub juga bingung pada komentarnya yang digeber obral seluruh medsos secara mencolok besar-besaran hampir sebulan penuh. Seakan-akan tak ada kabar lain yang lebih layak dimakan rakyat.
Masyarakat jadi terteror. Gelisah, resah, gerah.
“Kenapa pernyataannya tak sedikit pun menunjukkan kegentaran ketakutan menghampiri saat eksekusi, seperti umumnya kita manusia normal? Apakah dia binatang? Itu menakjubkan. Apakah sarafnya sudah putus? Atau di dasar jiwanya ada iblis membisikkan ia berada di jalan Tuhan, yang menjadikan dia gagah berani, bahkan bahagia meninggalkan timbunan dosanya dalam kehidupan. Tidak gentar berpisah dengan sanak saudara dan handai taulannya karena percaya ia sudah disediakan lapak di surga? Alasan seperti itukah yang menyebabkan orang jadi nekat jahat, bejat, tidak toleran, antikemanusiaan, dan radikal? Atau, atau mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah sesungguhnya dialah sebenar-benarnya yang adil, betul dan benar?”
Baca Juga: Menyusun Metafora Cerpen yang Menarik
Dialog di dalam cerpen itu sama sekali bukan dialog, meskipun pernyataan-pernyataan panjang tersebut diletakkan di dalam tanda kutip. Kenapa dialog semacam itu ada di dalam cerita? Karena penulisnya ingin berpetuah.
Semua kutipan langsung di sana sama sekali bukan ujaran karakter, sebab memang tidak ada karakter di dalam cerpen itu. Yang hadir di sana adalah stereotipe—atau generalisasi tentang rakyat kecil, penjahat, penguasa—yang diperalat mentah-mentah untuk menyemburkan gagasan-gagasan penulisnya.
Yang membuat saya sedih, itu dialog dari cerpen Putu Wijaya berjudul “Amnesti”, dimuat di Kompas, September 2018. Saya jengkel kenapa redaktur koran itu memuatnya. Putu Wijaya adalah penulis yang saya hormati; di masa lalu ia memukau saya dengan permainan logikanya dan membuat saya pernah mencoba mengikuti gayanya menulis cerpen yang aneh-aneh. Saya tidak rela ia menulis cerpen seburuk itu.
Contoh lain untuk jenis dialog info dumping:
“Kau sudah dengar tentang orang baru itu, Jon? Katanya dia dulu perampok sakti. Tubuhnya tidak bisa ditembus peluru dan dia bisa berada di dua tempat pada waktu yang bersamaan. Konon polisi pernah mengepungnya ketika dia merampok bank di Medan. Semua orang yakin bahwa hari itu tamat riwayatnya, tetapi ternyata pengepungan itu gagal. Polisi tidak menemukan dia di sana. Sore itu dia ada di Bandung sedang minum kopi bersama kekasih barunya. Padahal semua saksi mata yakin bahwa dia betul-betul masuk ke bank itu dan berniat merampok.”
“Ya, kudengar juga cerita itu. Dan sekarang dia menjadi mubaligh."
Sejelek itulah kira-kira jika kita salah memperlakukan dialog dan menjadikannya hanya sebagai penyampai informasi. A menyampaikan kepada B tentang X. Kemudian, B ganti memberi tahu A tentang X. Mereka sama-sama kenal si X; kenapa saling memberi tahu?
Dialog di bawah ini, yang saya temukan pada sebuah cerpen yang dimuat di koran hari Minggu, termasuk jenis dialog yang seperti itu:
“Setiap pagi kaubersihkan badanku, kausuapi, setelah itu kau harus menyiapkan dagangan. Pulang, kautemani aku sampai tertidur. Bukankah semua itu melelahkan? Maafkan aku, Sri,” ucap suami Yu Sri pelan dengan mata berkaca-kaca.
Seorang suami menceritakan kepada istrinya berbagai tindakan yang telah dilakukan oleh si istri. Apa poinnya? Dengan dialog seperti itu, jelas bahwa si penulis hanya meminjam mulut karakter untuk memberi tahu pembaca apa saja wujud bakti Yu Sri kepada suaminya, yang dalam cerita itu digambarkan sudah beberapa tahun lumpuh.
Dialog-dialog info dumping semacam ini dulu sering saya jumpai saat mendengarkan sandiwara radio.
“Kelihatannya ada dua orang sedang bertarung di sana, Dimas.”
“Benar, Kakang, yang satu bertubuh besar dan yang satu kecil tetapi sangat lincah.”
“Betul-betul hebat Lembu Sekilan anak muda itu, tidak ada satu pukulan lawan yang sanggup mengenainya. Pukulan lawan selalu akan melenceng sekilan dari tubuhnya.”
“Eh, di balik pohon besar itu rupanya ada seorang kakek berjubah abu-abu, Kakang.”
“Ya, Dimas, kelihatannya dia sangat sakti, sehingga dua orang yang sedang bertarung itu tidak menyadari kehadirannya.”
Para penulis naskah sandiwara radio tampaknya berpikir bahwa para penikmat sandiwara mereka hanya bisa mendengar dan tidak melihat apa yang terjadi. Maka, mereka harus diberi gambar yang jelas. Dan satu-satunya yang gampang diperalat untuk menyampaikan informasi kepada penikmat sandiwara radio adalah dialog.
Sinetron-sinetron televisi juga memperkenalkan jenis dialog yang seperti itu, seolah-olah penontonnya tidak bisa melihat apa yang terjadi di layar. Saya pernah mendapat penjelasan dari teman yang bekerja di stasiun televisi bahwa itu memang disengaja. “Sinetron-sinetron itu menyasar pembantu rumah tangga,” katanya. “Dengan dialog seperti itu, mereka tetap bisa mengikuti cerita meskipun sedang mencuci piring.”
Namun, dengan alasan apa pun, itu tetap saja cara penulisan dialog yang buruk.
Satu contoh info dumping lagi. Sekarang oleh Yu Jum, teman Yu Sri dalam petilan yang kita singgung di atas.
Sehari-hari Yu Jum berdagang aneka penganan, seperti lemper, kolak, dan gorengan. Pagi hari, sebelum berdagang, Yu Jum memanjatkan doa agar dagangannya laku.
“Kita harus berdoa dengan benar. Jika salah, berkah Tuhan tak akan turun. Bayangkan jika kita salah mengucap doa, misalnya ingin mandi tetapi memanjatkan doa hendak tidur, bisa-bisa kita tertidur di kamar mandi!” ucapnya pada seorang pembeli suatu hari.
Untuk kepentingan apa Yu Jum menceritakan hal itu kepada seorang pembeli? Kita mudah menebaknya. Jika Yu Jum tidak menceritakan kepada si pembeli, pembaca tidak akan tahu prinsip yang ia yakini tentang doa. Artinya, ucapan itu sebetulnya bisa disampaikan kepada sembarang orang dan tidak harus satu pembeli, bisa juga di hadapan sepuluh pembeli sekaligus. Yang penting di situ adalah pembaca tahu, sebab sesungguhnya ia berbicara kepada pembaca, bukan kepada karakter lain di dalam cerita itu.
Setelah pengumuman tentang doa tersebut, penggambaran tentang Yu Jum mulai mengada-ada:
Yu Jum sangat mengandalkan doa. Saking percaya pada kekuatan doa, ia hanya berjualan di rumah. Suatu kali, sang suami bertanya mengapa ia tak berkeliling menjajakan dagangan seperti pedagang lain. Yu Jum menjawab, “Aku sudah menyerahkan semua pada Yang Mahakuasa. Sebagai manusia, tugas kita hanya berdoa. Tahu! Aku takut Tuhan tidak bisa melihatku jika aku berkeliling dan berpindah-pindah tempat. Sudahlah, bawa lemper dan kolak itu ke sini!”
Begitulah, setiap hari wanita itu duduk diam di rumah, menunggui dagangan sejak pagi hingga sore. Selama itu pula ia selalu berdoa. Dia berprinsip: tiada waktu tanpa berdoa. Ia terus berdoa pada Tuhan agar orang-orang datang dan membeli dagangannya sampai habis.
Dua paragraf di atas tampaknya merupakan risiko yang harus ditanggung oleh cerpen setelah munculnya dialog buruk. Dan sekali digambarkan bertingkah seperti itu, untuk selanjutnya Yu Jum kian menjadi-jadi dan semakin tak tertahankan:
Waktu berlalu, detik berganti menit, menit berganti jam. Tak terasa sudah hampir lima jam. Namun belum seorang pun pembeli datang. “Mungkinkah aku salah berdoa? Seingatku sudah pas, sesuai dengan protokol.”
Yu Jum meyakinkan diri teknis berdoanya sudah betul, gerakannya sesuai, ucapannya pun sangat jelas. “Memang seharusnya aku pakai spiker masjid agar doaku didengar,” gumamnya.
Di luar fakta bahwa cerpen tersebut dimuat di koran, yang berarti ia cukup bagus menurut penilaian redaktur, dialog-dialog itu sungguh mengerikan.
Dolop di dalam cerita
Dialog semacam itu bukan kecelakaan yang muncul kadang-kadang saja di dalam khazanah cerpen kita. Kita tidak akan pernah kekurangan dialog-dialog jenis itu. Mungkin setiap Ahad kita bisa menemukannya di koran-koran.
Belum sebulan menemani Pakde, aku merasa cocok. Mesti kuakui, Pakde termasuk orang berkelas. Wawasan dan pengetahuannya tentang hidup dan kehidupan sangat luas. Pandangan dan pemikirannya tentang dunia pendidikan tajam, bahkan terkadang kontroversial.
“Selama masih banyak birokrat bermental korup, sulit rasanya pendidikan di negeri ini maju,” kata Pakde. Serius.
“Jadi dunia pendidikan juga dipenuhi koruptor ta, Pakde?”
“Begitulah.”
Dengan suara tertahan Pakde mendedahkan borok-borok dunia pendidikan yang dia ketahui. Pungli, suap, KKN merajalela di berbagai tingkatan. Birokrat yang menangani bantuan pembangunan infrastruktur pendidikan dari pusat hingga daerah, misalnya, semua minta bagian. Itulah mengapa ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, yang baru seumur jagung dibangun banyak yang ambruk.
“Dunia pendidikan kita dipenuhi oknum birokrat korup,” tandas Pakde.
“Apa tidak ada cara untuk memperbaiki, Pakde?”
“Ada. Pembersihan besar-besaran. Kalau perlu revolusi.”
Dua bulan, tiap pagi bersama Pakde, pengetahuanku tentang dunia pendidikan bertambah. Berbagai kiat mengajar, romantika hidup guru, banyak kuserap dan kudengar dari dia. Berkat Pakde, keraguanku untuk mewujudkan cita-cita menjadi guru perlahan sirna.
Dalam dialog itu, Rey hanya berfungsi sebagai dolop. Di arena judi, dolop adalah orang suruhan bandar yang bekerja untuk memancing perhatian para pejudi. Di kaki lima, dolop adalah orang yang bekerja seolah-olah dia pembeli antusias untuk barang-barang yang ditawarkan dengan harga sangat murah. Di panggung hipnosis, dolop adalah subjek hipnotik palsu yang dijadikan peraga untuk memperlihatkan keberhasilan sugesti hipnotik. Di dalam grup lawak, dolop muncul dalam wujud pelawak paling tidak lucu yang bertugas meloloh teman-temannya agar mereka bisa mengeluarkan kelucuan.
Sebagai dolop dalam cerita itu, Rey hanya perlu menyampaikan ujaran-ujaran yang terdengar lugu: “Jadi dunia pendidikan juga dipenuhi koruptor ta, Pakde?” dan “Apa tidak ada cara untuk memperbaiki, Pakde?”
Dolop di dalam sebuah cerita hanya menjalankan fungsi sebagai “fasilitator” bagi karakter lain untuk menyampaikan pidato atau menjelaskan sesuatu (kejadian tertentu, pandangan hidup, opini karakter tentang orang lain, dan sebagainya). Ia benar-benar dolop, bukan karakter.
Dialog mengerikan antara Pakde dan Rey itu diakhiri dengan petuah maut:
“Bila nanti kamu menjadi guru, jadilah guru dengan G kapital, Rey. Guru yang bekerja dengan pikiran jernih dan hati bersih.”
Guru dengan G kapital. Itu betul-betul hantaman terakhir yang membuat saya lebih baik pingsan.
Mengapa cerpen seperti itu dimuat? Atau, pertanyaan yang lebih pas, mengapa cerpen seperti itu ditulis?
Penulis cerpen tentang Pakde itu adalah orang yang sudah lama menulis. Saya membaca cerita-ceritanya di Suara Merdeka ketika saya masih tinggal di Semarang,
pertengahan 1980-an, dan itu berarti sudah lebih tiga puluh tahun lalu.
Yang ingin saya sampaikan, jam terbang tidak ada artinya dalam penulisan ketika orang berhenti belajar dan hanya sibuk mengetik. Ada cukup bukti tentang hal itu. Lagi-lagi, anda bisa mendapatinya pada tiap hari Minggu.
Dialog yang terang benderang
Dalam bahasa Inggris, istilah untuk dialog ini adalah on the nose dialogue, dialog yang cetho welo-welo, dialog yang segala-galanya disodorkan di depan hidung kita. Dialog jenis ini dicirikan dengan dua hal: Pertama, ia menyampaikan apa yang sudah jelas—yang pembaca atau tokoh ceritanya sudah tahu. Kedua, ia menyampaikan secara terang benderang isi pikiran atau isi hati tokoh cerita.
“Aku kecewa terhadapmu, Mar.”
“Aku bisa memahami kekecewaanmu, Andi. Tapi kumohon kamu juga memahamiku. Aku menjalani hidup yang pahit selama ini. Ayahku meninggalkanku dan aku hanya hidup berdua dengan ibuku. Dia ibu yang kasar, dan semakin kasar sejak ditinggal pergi oleh ayahku. Sepertinya dia menganggap aku biang masalah.”
“Tentu saja aku bisa memahamimu, tetapi tidak mungkin aku memaklumi semua tindakanmu terus-menerus.”
Masing-masing karakter dalam contoh di atas mengungkapkan secara terang benderang suara hati mereka. Dalam kenyataan sehari-hari, menyampaikan perasaan secara gamblang adalah hal yang sangat sulit bagi kebanyakan orang. Ada banyak penghalang untuk itu, tetapi pada dasarnya orang tidak ingin seratus persen membuka diri; hal itu akan memberi perasaan rentan. Begitu juga ketika mengemukakan pendapat yang mungkin akan membuat orang lain kurang senang, biasanya kita akan menyampaikannya secara melingkar-lingkar. Orang meyakini bahwa kejujuran adalah kebajikan yang tinggi nilainya. Tetapi kita tahu juga bahwa kejujuran sering menyakiti, baik diri sendiri maupun orang lain. Itulah yang menyebabkan orang tidak pernah sangat leluasa menyampaikan pendapat apa adanya.
Karakter-karakter di dalam cerita kita mestinya juga tidak beda dengan kita dan semua orang yang kita kenal sehari-hari. Mereka tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan apa saja isi hati atau isi pikiran. Mereka tidak bisa secara terang benderang menyampaikan pendapat langsung tentang orang lain atau kepada orang lain.
Dengan alasan itu, dialog on the nose, selain buruk sebagai dialog, juga menyalahi psikologi manusia. Dan itu berarti juga menyalahi psikologi karakter. Jika kita menginginkan karakter yang berdarah-berdaging-bernyawa sebagaimana manusia hidup, hindari dialog langsung. Manusia cenderung melingkar-lingkar untuk menyampaikan perasaannya.
Dialog tak langsung
Dialog info dumping mungkin sulit dibenahi. Kita tidak bisa melakukan apa-apa terhadap jenis dialog sebagaimana ditulis oleh Putu Wijaya dalam cerpen Amnesti. Satu-satunya cara memperbaiki dialog semacam itu adalah dengan tidak menuliskannya.
Dialog terang benderang bisa kita perbaiki dengan mengubahnya menjadi dialog tak langsung. Dialog di atas, misalnya, akan jauh lebih baik jika ditulis seperti ini:
“Kau melakukannya lagi. Kenapa begitu, Mar?”
“Entahlah, aku tidak tahu.”
“Kamu tahu. Seharusnya kamu tahu.”
“Ya.”
“Jadi?”
“Pergilah jika kau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal pergi orang-orang yang kucintai.”
“Dan kamu akan tetap seperti itu?”
“Mungkin. Aku tak tahu.”
“Seharusnya tidak seperti itu.”
“Ya, seharusnya.”
“Mar…”
“Pergilah.”
“Aku tahu apa yang harus kulakukan.”
“Maka lakukanlah.”
Saya sengaja tidak memberi penanda siapa yang bicara. Dialog itu hanya melibatkan dua orang; jika ia ditulis secara baik, pembaca akan bisa membedakan suara masing-masing karakter dalam dialog itu.
*
Tentu jauh lebih mudah membuat dialog yang terang benderang dibandingkan dialog tidak langsung. Dalam dialog tidak langsung, kita harus membuat pembaca tahu apa sebetulnya yang mereka bicarakan meskipun kita tidak pernah menyebut hal itu secara langsung.
Ketika anda memiliki kecakapan untuk menulis dialog tidak langsung, dialog anda akan terasa lebih realistis dan lebih cerdas.
*
Saya berharap anda melatih diri menulis dialog tidak langsung. Anda bisa menuliskan dialog versi terang benderang lebih dulu, biarkan tokoh-tokoh anda menyampaikan isi pikiran mereka, setelah itu anda mengubah cara penyampaiannya menajdi dialog tidak langsung.***
0 Comments